Persaudaraan Muslimah Indonesia, mempelajari Islam Secara Menyeluruh.

Sabtu, 04 April 2020

#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA 6- 10

CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
#Part_6
Oleh: Khayzuran

Arjuna menjatuhkan tubuhnya di sofa, hari pertama bekerja lagi terasa cukup melelahkan. Rumah terasa sepi, Arjuna melemparkan pandangannya ke sekeliling, tentu saja sosok yang dicarinya tidak ada karena tadi pagi sudah pamit untuk ijin keluar selama dua hari. Mau kemana Rania? pulang kampung? atau ada tugas mendadak yang harus ia kerjakan sebagai seorang dokter?

Rania....Rania...Rania...Arjuna merutuki diri sendiri, kenapa isi kepalanya dipenuhi dengan perempuan itu.

"Sudah pulang Den? mau langsung makan atau mau mandi dulu?"
Tawar Bi Didah melihat majikannya yang tampak kelelahan.
"Aku mau istirahat dulu Bi, siapin potongan buah sama cemilan aja."
"Baik Den."
Tak lama Bi Didah sudah datang lagi dengan nampan berisi sepiring campuran buah potong, setoples cookies almond dan beberapa butir obat yg diletakkan dalam mangkok kecil, Bi Didah meletakkannya di atas meja.

"Neng Rania hari ini tidak pulang Den, katanya ijin dua hari mau ada keperluan, obat-obatan yang harus Den Arjuna minum semua sudah disiapkan."
"Ya."
Arjuna membalas dengan tidak bersemangat.
Bi Didah kembali ke belakang menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
Arjuna menatap toples berisi cookies almond yang ada dihadapannya, mengeluarkannya satu keping, lekat mata Arjuna menatap kepingan cookies almond itu dan tiba-tiba saja disana muncul gambaran wajah Rania yang sedang tersenyum manis, Arjuna membalas senyuman itu tak kalah manis, untuk sesaat mereka saling berbalas senyum sebelum akhirnya lamunan Arjuna pecah dengan suara high heel yang berdentum mencium lantai marmer rumah miliknya.

"Kenapa gak pernah angkat telepon aku, kamu gak kangen sama aku?"
Michelle merajuk manja, kedua tangannya sudah membentang akan memeluk Arjuna, namun dengan cepat Arjuna menghindar dengan menggeser posisi duduknya, Michelle makin merajuk.
"Kamu kenapa sih?"
Nada suara Michelle terdengar kesal.
"Aku capek, di kantor banyak kerjaan."
"Kalau semuanya kamu yang urus untuk apa kamu punya karyawan-karyawan yang sering kamu bilang mereke kompeten?"
"Aku sudah lama gak ngantor jadi wajar dong kerjaan aku banyak dan gak semua kerjaan bisa aku serahkan pada karyawan-karyawan aku meskipun mareka kompeten, karena aku pemegang dan penentu kebijakannya."
"Aku kangen." 

Michelle menggeser letak duduknya mendekat pada Arjuna, hendak merebahkan kepalanya pada bahu Arjuna, replek Arjuna pun bergeser menghindari Michelle sehingga membuat Michelle nyaris terjungkal, Arjuna menahan senyum melihat Michelle yang hampir celaka, bibirnya manyun.
"Kamu berubah, kenapa jadi dingin begini?"
"Kan aku sudah bilang, aku capek."
"Jadi maksud kamu aku ganggu kamu?"
"Bukan gitu Michelle, hanya saja hari ini aku teramat lelah, kamu tolong dong ngertiin aku, aku janji deh besok aku akan ajak kamu jalan tapi paginya kamu bisa kan temenin aku terapi dulu? Kamu ada waktu?"
"Besok aku ada meeting sama klien."

Yesss..hati Arjuna bersorak, karena sebenarnya memang Arjuna tidak ingin sering dekat-dekat dengan Michelle hanya saja Arjuna merasa tidak enak kalau sikapnya yang dingin sama Michelle akhir-akhir ini akan menyakiti perempuan yang selama ini sudah baik menemani Arjuna melewati banyak hal.
"Tapi kayaknya meetingnya bisa aku batalin deh, jadi besok aku bisa nemenin kamu terapi."
Michelle tersenyum, Arjuna membalas senyum itu hambar.
"Makasih sayang."
Dipaksakanya tersenyum.
"Cobain deh cookies almond ini enak banget lho."
Arjuna membuka toples dan menyodorkannya pada Michelle.
Jari lentik Michelle mengambil satu keping cookies almond dan menggigitnya di satu sisi.

"Enak banget, rasanya persis seperti cookies almond kesukaan aku."
Ujar Michelle sambil memasukkan sisa potongan cookies almondnya kedalam mulut.
"Biasanya kamu beli dimana?"
"Aku beli online di market place, karena produsennya gak jual off line."
"Apa namanya?"
"Ainar Cookies and Chocolate, kenapa sih tumben banget antusias sama makanan?"
"Gak sih biar nanti aku gak bingung aja kalau bawain makanan buat kamu."

===============================
"Sayang kalau kamu bosen nungguin aku terapi lama, nunggunya di cafe aja biar nyaman, itu cafenya ada di sebelah gedung perpustakaan rumah sakit."
"Bi Didah tolong antar Michelle ke cafe biar gak nyasar."
"Kamu gak apa-apa aku tinggal?"
Arjuna menggeleng.
"Gak apa-apa."
Arjuna masuk ke ruang fisioterapi setelah namanya di panggil oleh seorang perawat.
"Apa kabar Mas Arjuna? senang bisa bertemu lagi dan melihat mas Arjuna sudah bisa berjalan sendiri meski masih tertatih."
Fauzan menyapa hangat sambil mengulurkan tangan. Arjuna menyambut uluran tangan Fauzan.
"Alhamdulillah baik."

"Prof Hisyam masih ada pasien jadi pemanasannya sama saya dulu nanti dilanjut sama prof Hisyam, gak apa-apa kan? oh iya mana Rania? Biasanya dia setia mengantarkan tuan mudanya terapi."
"Rania itu adik kelas Mas Fauzan di fakultas kedokteran?"
Fauzan yang sedang menyiapkan lampu untuk menghangatkan kaki Arjuna menghentikan aktifitasnya.
"Jadi Rania sudah cerita semuanya sama Mas Arjuna? perempuan itu benar ya memang susah dimengerti, waktu gak sengaja ketemu di cafe waktu itu Rania meminta saya untuk tidak bercerita apapun tentang dia sama Mas Arjuna, eehh...sekarang malah dia sendiri yang menceritakan semuanya, dasar perempuan."
Fauzan tertawa kecil.

"Ayo sini Mas Arjuna naik ke tempat tidur kita mulai terapinya."
Perintah Fauzan, Arjuna menurut.
"Kita kuliah di universitas yang sama, saya tingkat akhir dan Rania baru masuk, tapi saya sudah mengenal Rania sebelumnya, ingat kan kalau saya pernah bercerita sama Mas Arjuna kalau saya dan Rania tergabung dalam sebuah proyek dari NGO Turki untuk membangun sebuah rumah tahfidz?"
Arjuna mengangguk.
"Saya lagi libur semester dan Rania baru lulus SMU, saya, Rania dan beberapa orang teman kita yang lain yang tergabung dalam proyek yang sama tinggal di daerah Sukabumi Selatan selama satu bulan penuh, kita yang laki-laki tinggal di rumah penduduk yang kita sewa sedangkan yang perempuannya tinggal di rumah pak kades. Disana kita bukan hanya mengawasi pembangunan rumah tahfidz tapi juga menjalankan program pemberdayaan masyarakat setempat, kita mengadakan pelatihan kewirausahaan, penyuluhan pertanian, membangun sarana sanitasi dan memberikan edukasi kesehatan pada masyarakat. Sejak saat itulah saya tahu Rania pintar sekali memasak dan membuat kue. Rania sering menyuruh anak pak kades untuk mengantarkan makanan ke rumah kita, makanan dan kue-kue hasil praktek Rania dan ibu-ibu PKK."

Arjuna mendengarkan Fauzan bercerita sambil menghangatkan kakinya dengan sinar X.
"Setelah proyek kita di Sukabumi Selatan selesai dan kita kembali pada rutinitas masing-masing, qodarullah Allah mempertemukan lagi saya dan Rania di fakultas kedokteran, Rania masuk fakultas kedokteran melalui jalur tahfiz tapi itu hanya salah satu faktor pendukungnya saja sih karena secara akademik Rania juga sangat cerdas. Dan ternyata Rania salah satu penerima beasiswa dari perusahaan ayah saya. Perusahaan ayah itu salah satu donatur tetap di pesantren tempat Rania mondok. Rania sudah mondok di pesantren sejak kelas empat SD karena ibunya harus bekerja di kota dan nenek Rania sudah tua, ayah Rania meninggal waktu Rania masih balita. Lulus SMP Rania sudah hafal Al-Qur'an, sudah jadi Hafidzoh bersuara merdu yang sempat membuat King Salman terpesona sampai mengundang Rania untuk umroh gratis setelah Rania menjadi juara Hifdzil Qur'an tingkat internasional yang diadakan di Turki."

"Mas Fauzan hafal betul tentang Rania."
Gumam Arjuna di sela-sela cerita Fauzan.
Fauzan tersenyum
"Aku pernah menyukainya jadi aku cari tahu semua tentang Rania, biar aku tahu cara untuk menaklukkan hatinya."
"Tapi akhirnya Mas Fauzan patah hati karena Rania lebih memilih menikah dengan laki-laki lain dan sekarang mereka sudah punya anak?"
"Rania sudah menikah? Kapan?"
Fauzan balik bertanya pada Arjuna, keningnya berkerut.
"Beberapa hari yang lalu aku pernah melihat Rania bersama seorang anak perempuan dan seorang laki-laki, anak perempuan itu memanggil Rania ibu."
Fauzan tersenyum.
"Jadi itu yang membuat muka mas Arjuna hari ini kusut?"
Senyum Fauzan berubah jadi tawa, muka Arjuna memerah.

"Setelah lulus menjadi dokter umum Rania mengabdikan diri untuk jadi pengurus di rumah tahfidz yang sebelumnya kita bangun sambil bekerja di puskesmas dan di Rumah sakit. Semua-anak asuh di rumah tahfidz memanggil semua pengurus perempuan dengan panggilan ibu dan memanggil pengurus laki-laki dengan panggilan ayah. Semua penghuni rumah tahfizd disana yatim piatu, jadi biar lebih homey dan mereka merasa punya orang tua semua anak-anak memanggil semua pengurus rumah tahfiz dengan panggilan ayah dan ibu, buka hanya pada saja. Dan laki-laki yang Mas Arjuna lihat tempo hari bersama Rania mungkin Farhan. Farhan sempat mengabari akan datang ke kota ini untuk menemani Zahra salah satu anak asuh disana untuk mengikuti lomba Hifdzil Qur'an, tapi waktu itu saya sedang ada ujian jadi tidak bisa bertemu mereka."
"Farhan?"
Tanya Arjuna.
"Iya, Farhan itu calon suami Rania."
"Laki-laki yang telah membuat mas Fauzan patah hati?"

"Ya, sedikit, tapi saya masih punya waktu untuk memperjuangkannya bukan? Selama ijab qabul pernikahan belum terucap dan sebelum saksi mengatakan sah itu tandanya kesempatan saya untuk mendapatkan Rania masih terbuka lebar."
"Mas Fauzan masih mencintai Rania?"
Tanya Arjuna hati-hati, jantungnya degdegan seolah tidak siap dengan jawaban Fauzan.
"Sangat, karena itulah saya harus berjuang keras untuk mendapatkannya."
Kali ini Arjuna melihat kesungguhan yang luar biasa dari sorot mata Fauzan, membuat hati Arjuna seperti kerupuk yang tersiram air hujan, menciut.
"Pasien prof Hisyam sudah selesai, ayo sekarang giliran Mas Arjuna. Hari ini mas Arjuna jadwal kontrol ke dr. Yosef juga kan? dr. Yosef mengenal Rania dengan baik, beliau salah satu dosen Rania dan dosen saya juga. Dr. Yosef pernah merekomendasikan Rania untuk mengambil program pendidikan dokter spesialis saraf seperti dirinya tapi Rania keukeuh pengen ngambil spesialis jantung dan pembuluh darah."
Fauzan mematikan lampu terapi, dengan tidak bersemangat Arjuna bangkit dari tempat tidur dan menuju ruang terapi prof Hisyam.

====================
Pulang fisioterapi Arjuna menunaikan janjinya pada Michelle meski cuma lunch bareng. Bi Didah pulang dengan Pak Mansyur sedangkan Michelle dan Arjuna dijemput oleh sopir pribadi Michelle.

Ba'da ashar Arjuna baru sampai rumah diantar sopir Michelle, Michelle tidak mengantar Arjuna pulang karena ada janji dengan kliennya di Butik.
"Ada tamu Bi?"
Tanya Arjuna pada Bi Didah yang menyambutnya di bibir pintu.
"Ada calon suami Neng Rania nanyain Neng Rania."
Jawab Bi Didah dengan suara rendah.
Seketika degup jantung Arjuna mengencang, aliran darahnya menghangat.
"Assalamualaikum."
Salam Arjuna pada laki-laki yang sedang duduk di kursi tamu, laki-laki yang wajahnya pernah Arjuna lihat bersama Rania di mall waktu itu.
"Alaikumsalaam." 

Jawab laki-laki berpenampilan sederhana itu, laki-laki berkemeja katun warna navy dan celana hitam berbahan jet black, laki-laki itu juga mengenakan kopiah hitam yang warnanya sudah sedikit pudar, persis penampilan ustadz tradisional yang biasanya mengisi pengajian di mesjid kampung yang jamaahnya hanya ibu-ibu dan nenek-nenek yang mengantuk.
"Farhan."
"Arjuna."
Mereka saling bersalaman dan tersenyum.
"Mas Arjuna baru pulang kerja? kerja dimana mas?" 

Tanya Farhan basa-basi, biar suasana mencair, karena sejak Farhan melihat wajah Arjuna, wajah itu tampak tidak ramah.
"Saya kerja di perusahan keluarga, mas Farhan kerja dimana?
"Saya gak kerja Mas, saya cuma lulusan SD, susah cari kerja, mas Arjuna tahu sendiri kan kalau melamar kerja yang pertama ditanya itu ijazah, lulusan universitas mana? bukan ditanya kompetensi."
Arjuna tersenyum kecut, lalu apa istimewanya laki-laki ini di mata Rania sehingga berani memutuskan untuk menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan laki-laki ini? mempertaruhkan masa depan dirinya dan anak-anaknya kelak? bukankah Fauzan lebih memiliki segalanya dan bisa menjamin masa depan yang cerah untuk Rania dan keturunannya nanti?

"Ada yang bisa saya bantu?"
Tanya Arjuna berusaha ramah.

"Maaf mengganggu waktunya Mas Arjuna, saya kesini mau bertemu Rania tapi kata ibu Didah Rania sedang tidak ada. Saya tidak bisa menghubungi Rania karena sejak Rania bekerja disini nomor handphonenya tidak aktif. Kemarin saya telepon ibu Rima meminta alamat rumah tempat Rania bekerja karena ada hal penting yang harus saya sampaikan pada Rania."
"Iya Rania meminta ijin pada saya selama dua hari katanya ada keperluan."
"Sepertinya Rania ikut workshop dan simposium di Jogja untuk persiapan ujian melanjutkan pendidikan dokter spesialis, beberapa bulan yang lalu pernah cerita soal itu sama saya."
"Mungkin."
Jawab Arjuna sambil menaikkan kedua bahunya.
"Boleh saya meminta tolong?"
Tanya Farhan sopan.
"Ya, mudah-mudahan saya bisa bantu."
"Ada beberapa berkas yang harus segera Rania lengkapi untuk persyaratan pernikahan kami, ini sudah saya bawakan formulirnya nanti Rania tinggal melengkapi saja dan kalau semua berkasnya sudah lengkap dan sudah di isi nanti minta tolong Rania untuk dikirim via ekspedisi aja biar bisa segera saya serahkan pada petugas KUA."

Farhan menyerahkan amplop cokelat berukuran besar, Arjuna menerimanya dengan tangan gemetar.
"Mas Arjuna kenapa? sakit? muka Mas Arjuna terlihat pucat."
"Gak apa-apa mungkin cuma kecapean aja tadi abis terapi."
Farhan pamit pada Arjuna dan Bi Didah setelah semua urusannya seselai.
Arjuna langsung mengunci diri di kamar, membuka laptopnya dan mencari-cari sesuatu di google.
"Ini dia."
Serunya, lalu tangannya meraih gawai yang ada di saku celananya.
"Sat, besok tolong lo handle semua kerjaan gue, besok gue gak bisa ke kantor, mau ke Jogja, ada urusan penting."
Send.

====================
Kira-kira Rania jadi nikahnya sama siapa ya? Farhan, Fauzan atau Arjuna?

-----

CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 7
Oleh: Khayzuran

Malam itu juga Arjuna terbang ke Jogjakarta dengan menggunakan penerbangan malam. Pukul sebelas malam pesawat yang ditumpangi Arjuna mendarat di Bandara Adisutjipto. Dengan menggunakan taxi online Arjuna menuju hotel Neo Malioboro, dia sudah membooking salah satu kamar melalui aplikasi booking kamar hotel online. Arjuna bertanya pada resepsionis untuk memastikan apa yang dia cari.

"Mbak, disini lagi ada workshop dan simposium yang diadakan oleh perhimpunan dokter kardiovaskuler Indonesia?"
"Betul Mas, ada di ballroom utama, workshopnya sudah hari ini, simposiumnya baru besok Mas."
Arjuna manggut-manggut.
"Saudara saya ikut acara itu tapi saya gak tau dia nginep dimana, apa disini ada tamu yang bernama Rania? Saya tidak bisa menghubunginya karena nomor hpnya tidak aktif."
"Sebentar Mas, saya cari dulu."
"Ok."
Resepsionis sibuk dengan layar komputer yang ada di hadapannya.
"Maaf Mas, tidak ada tamu bernama Rania, mungkin menginap di hotel lain."
Jelas resepsionis ramah.
"Ya, mungkin..., Mbak apa setiap orang dari luar hotel yang mau ke ballroom utama pasti melewati lobi ini?"
"Iya Mas."
"Ok, makasih Mbak."
"Sama-sama mas."

Arjuna kembali ke kamar, menjatuhkan tubuhnya yang terasa lelah ke kasur. Ada rasa sakit yang tiba-tiba ia rasakan dari kaki kirinya, mungkin karena terlalu lelah berjalan, karena hari ini Arjuna tidak menggunakan bantuan tongkat sama sekali untuk berjalan.
Malam merambat larut, tapi mata Arjuna tidak juga bisa terpejam. Belum genap dua hari Arjuna tidak melihat Rania rasanya ada sesuatu yang hilang, mungkinkah Arjuna merindukan perempuan yang sering dimarahinya itu?
Arjuna menenggelamkan kepalanya di balik bantal, namun bayangan wajah Rania mengejar, ada apa dengan hati Arjuna? semakin berupaya menghapus bayangan Rania hatinya semakin gelisah.

===========================
Pagi masih ranum, mentaripun belum kembali dari peraduannya, masih ada sepasi rembulan yang tergantung di langit pagi ini yang bersiap berganti tugas dengan matahari yang sepertinya masih enggan untuk menampakkan diri.

Arjuna sudah rapi duduk di salah satu sofa yang ada di lobi hotel, segelas teh jahe panas ada dihadapannya, tak peduli dengan perutnya yang keroncongan karena sejak berangkat dari rumah kemarin Arjuna belum makan apapun, hanya air mineral saja, nafsu makannya hilang. Arjuna benar-benar seperti orang yang sedang jatuh cinta, tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, hatinya selalu gundah dengan alasan yang tidak jelas.

Menurut rundown acara yang Arjuna dapatkan dari website resmi PERKI (Persatuan Dokter Kardiovaskuker Indonesia) workshop hari ini akan dumulai tepat pukul 8, tapi sepertinya para peserta akan datang lebih awal untuk registrasi.

Leher Arjuna sampai terasa pegal karena melirik terus ke arah pintu masuk hotel, Arjuna sendiri tidak berani duduk menghadap langsung pintu masuk hotel karena itu beresiko akan dilihat Rania.
Tepat pukul tujuh pagi seorang perempuan yang wajahnya sangat familiar memasuki pintu utama hotel, gamis hitam yang dipadukan dengan blazer warna peach dan juga khimar square warna peach, sangat serasi dikenakan oleh perempuan cantik bertinggi badan sekitar 168 cm. Rania.

Benar, itu Rania, perempuan yang hari-hari terakhir ini sangat menggangu pikiran waras Arjuna.
Rania masuk hotel tergesa, langkahnya panjang-panjang menuju lift yang hanya berjarak tidak lebih dari sepuluh meter dari tempat Arjuna duduk. Andai saja Rania mengangkat sedikit kepalanya tidak fokus dengan makalah yang sedang dibacanya maka dia pasti akan melihat Arjuna dengan jelas.

Arjuna menarik nafas panjang, hanya dengan melihat Rania sekilas saja suasana hatinya terasa sedikit membaik, ada rasa bahagia yang menyelinap perlahan dalam hati Arjuna.

Arjuna memutuskan untuk sarapan di restauran hotel, setelah itu mungkin akan menghabiskan waktu dengan tidur sambil menunggu simposium yang diikuti Rania selesai pukul empat sore. Arjuna memilih sarapan menu nasi gudeg Jogja, meski sebenarnya rasanya tidak terlalu bersahabat dengan lidahnya karena terasa terlalu manis.

Dari arah pintu masuk restauran Rania muncul dengan beberapa orang perempuan seusianya, mungkin itu teman-teman Rania yang mengikuti simposium yang sama. Arjuna berpindah tempat duduk, sebisa mungkin menghindari pertemuannya dengan Rania. Dari kejauhan Rania tampak ngobrol hangat dengan teman-temannya, entah apa yang sedang mereka bicarakan, Rania tidak berhenti tersenyum bahkan sesekali tertawa kecil begitu lepas, tampak bahagia dan menikmati momen, keceriaan Rania yang sebelumnya tidak pernah Arjuna lihat. 

Rania tampak berkelas sama seperti teman-temannya, meski pakaian dan make up nya sederhana dan minimalis tapi tidak sedikitpun mengurangi kecantikannya, aura smartnya terlihat dengan jelas, inilah dunia Rania yang sebenarnya, bukan di rumah Arjuna yang penuh tekanan dan melelahkan.

========================
Setalah sholat ashar Arjuna segera turun ke lobi, acara Rania selesai jam empat sore itu artinya Arjuna sudah harus ada di lobi sebelum jam empat kalau tidak ingin kehilangan jejak Rania.
Itu dia Rania dan beberapa orang temannya, keluar dari lift.
"Kamu pulang sore ini?"
Tanya salah seorang teman Rania pada Rania. Rania mengangguk.
"Iya."
"Ikut jalan-jalan aja dulu yuk bareng kita, besok sore aja pulangnya, kita main dulu ke Imogiri dan gumuk pasir Parangkusumo."
Ajak perempuan itu lagi
"Aku cuma ijin kerja 2 hari jadi besok pagi aku harus udah ada ditempat kalau gak mau kena omelan bos aku yang super galak dan nyebelin."
"Bilangin sama bos kamu jangan galak-galak nanti jatuh cinta lalu di tolak baru tau rasa."
Merekapun tertawa bersama sebelum berpisah.
Rania berjalan perlahan menyusuri jalan Malioboro, Arjuna mengikutinya dari belakang dengan jarak yang cukup jauh, yang penting Rania masih terlihat.

Aahh...perempuan itu dari belakang saja tampak mempesona.
Rania berhenti di depan gerobak kaki lima yang menjual lumpia basah di dekat hotel Mutiara.
"Dua yang spesial."
Rania menyerahkan uang dua belas ribu rupiah setelah mendapatkan dua buah lumpia basah dalam piring kecil, ada potongan acar ketimun dan lombok hijau, juga parutan bengkoang diatasnya.

Rania duduk di salah satu bangku yang berjajar di sepanjang jalan Malioboro sambil melahap lumpia basahnya dengan santai. Arjuna ikutan duduk di belakang bangku berjarak lima bangku dari tempat Rania duduk.
Setelah menyerahkan piring kecil bekas lumpia dan mengucapkan terimakasih pada penjualnya Rania kemabli berjalan kaki lalu menyeberang jalan dan masuk ke jalan Sosrowijayan. Arjuna masih mengikutinya sambil mengatur jarak, Rania masuk gang kecil disebelah SD Sosrowijayan, Arjuna menghentikan langkahnya, tidak mungkin dia terus mengikuti Rania di gang kecil itu, gang itu terlalu kecil untuk Arjuna bersembunyi di belakang Rania.
Rania tidak menginap di hotel tapi menginap di home stay di daerah Sosrowijayan.
Arjuna putar arah, cukuplah untuk hari ini, yang penting Rania sore ini akan pulang, itu tandanya besok mereka sudah bisa bertemu di rumah. 

Arjuna membeli soft drink di mini market sebelum kembali ke hotel untuk berkemas. Saat akan keluar dari mini market Arjuna melihat Rania sedang berjalan dengan tas ransel di punggungnya. Berjalan tergesa sambil sesekali melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Arjuna kembali membuntuti, Rania berjalan menuju stasiun Tugu, rupanya Rania akan pulang dengan menggunakan kereta.
Arjuna kembali ke hotel Neo Malioboro, berkemas untuk pulang dengan pesawat. Arjuna harus sudah ada di rumah sebelum Rania sampai.

=========================

"Dari kemarin aku telepon kamu tapi hp kamu gak aktif terus."
Pagi-pagi Michelle sudah sampai di rumah Arjuna, menganggu Arjuna yang sedang menikmati sarapan di teras samping kolam renang, tempat favoritnya. Arjuna hanya melirik Michelle sekilas, lalu melanjutkan kembali sarapannya.
"Kamu denger aku gak sih?"
"Iya denger, ada apa?"
"Kata papa kapan kamu akan melamar aku?"
Arjuna tersedak.
"Melamar?"
"Iya, memangnya kamu tidak ingin menikah? Kita sudah cukup lama pacaran, sudah cukup saling mengenal"
"Iya tapi gak secepat ini dong, kamu tau sendiri kan mama aku belum setuju."
Arjuna menyelesaikan sarapannya lalu duduk di sofa, Michelle mengikuti.
"Aku hamil."
"What??" 

Arjuna berdiri dari duduknya, Michelle memeluk Arjuna erat.
"Jangan tinggalin aku, aku cinta sama kamu."
Michelle terisak, pelukannya semakin erat.
Rania menutup mulutnya dengan telapak tangan, syok dengan apa yang baru saja di dengar dan dilihatnya. Rania mundur beberapa langkah, menjauh dari teras samping lalu berlari menuju kamarnya.
Di dapur Rania bertemu dengan Bi Didah.
"Neng Rania sudah pulang?"
Rania mencium tangan Bi Didah.
"Sudah Bi, baru sampai."
"Kok pucet Neng, sakit?"
Rania menggeleng.
"Simpan dulu tasnya, ayo sarapan sama Bibi."
"Aku udah sarapan tadi di stasiun Bi, aku mau istirahat dulu aja ya."
" Ya sudah"
"Non Michelle nginep disini Bi?"
"Nggak, datang tadi pagi, kemarin juga kesini tapi Den Arjunanya gak ada, jadi pulang, terus tadi pagi kesini lagi."
"Den Arjuna kemana?"
"Gak tau Neng, kemaren malam pergi baru pulang tadi malam."
Rania mengerti, mungkin Arjuna sengaja menghindari Michelle untuk lari dari tanggungjawab, dasar laki-laki, cuma ingin enaknya, dan setelah jadi sampah dibuang dan disia-siakan.

=========================
"Rumah ini bukan penjara, jadi tidak ada larangan untuk memiliki dan menggunakan handphone untuk berkomunikasi, biar tidak menyusahkan orang lain."

Rania yang sedang menata cookies almond ke dalam toples melirik ke arah sumber suara. Arjuna berdiri tidak jauh dari Rania.
"Kemarin ibumu telepon menanyakan kabar kamu dan kabar perisiapan pernikahanmu. Dan ini calon suamimu juga mencari kamu" Arjuna melemparkan amplop coklat berukuran besar ke meja makan. Rania mengambilnya dan membuka isinya.
"Calon suamimu bilang segera lengkapi dan kirim via ekspedisi jika sudah selesai."
Rania mengangguk
"Iya, terimakasih banyak Den, maaf jadi merepotkan."
"Jadi itu calon suami kamu?" 

Rania mengangguk, masih belum berani mengangkat wajahnya, tidak siap melihat wajah majikannya yang sepertinya sedang murka.
Rania, angkat wajahmu, kenapa menunduk saja, tidak kah kamu tahu aku bela-belain ke Jogja ninggalin banyak kerjaan cuma untuk melihat wajah kamu dari jauh. Arjuna mengumpat dalam hati.
"Punya apa dia sampai berani melamar kamu?"
Rania sungguh tidak suka dengan kalimat Arjuna yang merendahkan calon suaminya seperti itu.

"Kang Farhan memang bukan orang kaya seperti Den Arjuna, bukan juga orang berpendidikan tinggi seperti Den Arjuna, tapi kang Farhan punya banyak hal yang tidak Den Arjuna miliki."
Arjuna tersenyum sinis
"Love is blind, apa yang Farhan miliki yang tidak aku miliki?"
"Minimal Kang Farhan tidak pernah merendahkan Den Arjuna seperti Den Arjuna merendahkan Kang Farhan. Kang Farhan tau bagaimana cara mencintai perempuan, dengan menjaganya tetap suci, tau cara menghargai perempuan dengan tidak menyentuhnya apalagi memeluknya selama belum halal. Kang Farhan tau ungkapan cinta terbesar dari seorang laki-laki terhadap perempuan yang dicintainya itu dengan mengajaknya menikah, bukan dengan mengajaknya berpacaran dan berzina sampai hamil seperti yang Den Arjuna lakukan pada Non Michelle."
"Plak...."
Tangan Arjuna melayang, mendarat di pipi kanan Rania.

========================


CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 8
Oleh: Khayzuran

"Masya Allah Den..."
Bi Didah berhambur memeluk Rania. Rania menggigit bibir, sekuat tenaga ditahannya air mata yg berjejalan di sudut mata hendak berjatuhan.
"Aku gak apa-apa Bi."
Rania melepaskan pelukan bi Didah lalu pamit ke kamar.

Arjuna masih tertegun di tempatnya berdiri, tangannya dingin. Apa yang barusan aku lakukan? sesalnya. Seperti ada lubang menganga di hati Arjuna, perih, terlebih saat melihat mata merah Rania, menahan tangis.

Bukan rasa sakit di pipi yang membuat Rania terluka dan ingin menumpahkan air mata, tapi Rania tidak habis pikir, kenapa ibu selalu memaksanya untuk mau menerima tawaran ibu Dibyo untuk menjodohkannya dengan Arjuna, meski ibu tahu Rania sudah menerima lamaran Farhan, laki-laki yang sebenarnya belum sepenuhnya mendapat restu ibu.

Tidak kah ibu tahu laki-laki yang selalu ibu banggakan sebagai laki-laki yang pintar, lembut, penyayang, ramah dan dermawan tidak lebih dari seorang laki-laki kasar yang mudah main tangan. Padahal ibu sering menasehatinya bahwa salah satu kriteria calon suami yang baik itu yang berkepribadian lembut. Perempuan itu kodratnya memang ingin mendapat perhatian dan kelembutan dari seorang laki-laki, maka suami yang baik seharusnya memiliki kepribadian lembut. Kelembutan tersebut bukan hanya untuk memberikan keluarganya (istri dan anak-anaknya) perhatian dan kasih sayang, tetapi juga lebih kepada kemampuannya dalam mengontrol emosi sehingga tidak mudah marah dan berperilaku kasar.

Arjuna menatap punggung Rania, maafkan aku Rania, bisiknya lirih pada diri sendiri.
========================

Arjuna termenung di bibir jendela kamar, rasa sesal masih menyelimuti relung hatinya, kata maaf saja tidak mungkin cukup untuk menebus kesalahannya yang fatal, sikapnya yang kasar di luar batas pada Rania sungguh diluar kesadarannya. Arjuna kembali membuka lembar demi lembar hari yang dilaluinya sejak Rania ada di rumahnya, perempuan itu selalu bersikap ramah dan lembut meski Arjuna tidak berhenti bersikap kasar. Sering tersenyum dan selalu sigap memperhatikan semua kebutuhan Arjuna meski Arjuna sering menyikapinya dengan ketus.

Saat makan malam Rania tidak tampak. Arjuna makan malam hanya ditemani Bi Didah dan Mang Asep. Semuanya hanya konsentrasi dengan makanan yang ada dihadapannya, semua saling membisu, tidak ada yang berani membuka percakapan.

Bi Didah sudah masuk ke kamar, beristirahat. Mang Asep kembali ke pos depan.
Arjuna memutar-mutar gelas berisi air mineral, masih duduk di meja makan.
Entah apa yang menggerakkan kaki Arjuna, melangkah perlahan menuju kamar Rania. Arjuna menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Rania.
Lamat-lamat dari dalam kamar terdengar suara merdu Rania sedang murojaah surat Al Mulk, ragu Arjuna untuk mengetuk pintu. Arjuna menyandarkan tubuhnya pada daun pintu kamar Rania, matanya terpejam menikmati Al Mulk yang dilantunkan Rania, meski Arjuna tidak tahu surat apa yang sedang Rania baca.

Ada yang bersedir lembut merambat di seluruh peredaran darah Arjuna, hati Arjuna luruh, rasa bersalah Arjuna pada Rania semakin menyesakkan dada.
Tak terasa sudut mata Arjuna menghangat, menyesali dirinya telah sangat kasar pada perempuan sebaik Rania. Ya, mungkin Arjuna terlalu cemburu pada laki-laki yang begitu dipuja Rania, laki-laki sederhana yang telah membuatnya tak berdaya dan menyesali benih-benih rasa cinta yang entah sejak kapan muncul di hatinya untuk Rania.
"Braaakkk......"
"Astaghfirullah...."
Arjuna jatuh terpelanting, tubuhnya menimpa Rania saat tiba-tiba Rania membuka pintu kamar.


CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 9
Oleh: Khayzuran

"Bi Didaahhh...."
Rania berteriak sekencang mungkin, semampu yang dia bisa, tangan kanannya refkek meraih apa saja yang terjangkau tapi sayang tak dapat menggapai apapun, sekuat tenaga tubuh Rania mendorong tubuh Arjuna yang menindihnya hingga kepala Arjuna terbantur sudut tempat tidur kayu di kamar Rania.
"Aahh...."
Arjuna mengerang kesakitan, darah segar mengalir dari pelipisnya.

"Dasar mesum, jangan samakan semua perempuan seperti perempuan-perempuanmu yang dengan mudah bisa kamu jamah, kamu peluk sesukamu bahkan sampai kamu hamili."
Rania meradang, bringsut berlari keluar kamar membiarkan Arjuna yang masih tersungkur kesakitan.
Bi Didah datang tergopoh-gopoh, mulutnya menganga saat melihat Arjuna ada di kamar Rania dengan darah segar yang mengalir di pelipisnya.
"Ini ada apa Den?"
"Tolong aku Bi, kepala aku sakit."
Bi Didah membantu Arjuna bangkit, ditepisnya seribu tanya yang menghampiri pikirannya tentang keberadaan Arjuna di kamar Rania dan teriakan ketakutan Rania yang tadi ia dengar.
Arjuna merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Telapak tangannya menekan pelipis, berusaha meminimalisir aliran darah dari luka robek di pelipisnya.

"Kita ke rumah sakit aja Den, itu lukanya harus diobatin."
"Gak usah Bi, ambilkan air hangat, kapas dan obat luka aja."
Bi Didah menurut tanpa bertanya lagi, segera ke dapur menyiapkan permintaan tuan mudanya.
"Sebenarnya ini ada apa? Kenapa Den Arjuna ada di kamar Neng Rania? Dan kenapa tadi Neng Rania teriak? Aden menampar Neng Rania lagi?"

"Nggak Bi, tadi aku cuma mau ketemu Rania untuk meminta maaf, tapi karena Rania lagi ngaji jadi aku gak berani ketuk pintu, aku tunggu di luar kamar sambil bersandar ke pintu, tapi tiba-tiba Rania buka pintu dan aku terjungkal ke dalam menimpa tubuh Rania, aku gak ngapa-ngapain Bi, sumpah."
Jelas Arjuna panjang lebar, Bi Didah manggut-manggut.
"Terus sekarang Neng Rania kemana?"
Arjuna menggeleng, suasananya jadi semakin runyam karena Rania salah faham.
"Bi, tolong bantu bersihin."

"Aduh Den, Bibi gak berani, Bibi takut darah."
Bi Didah gelagapan, matanya terasa makin berkunang-kunang saat melihat darah tidak berhenti mengalir dari pelipis Arjuna.
"Kita ke rumah sakit aja yuk Den, Bibi takut terjadi apa-apa sama Dengan Arjuna."
Bi Didah masih bersikeras untuk membawa majikannya ke rumah sakit.
"Sebentar Den."
Setengah berlari Bi Didah meninggalkan Arjuna.
"Neng Rania...., Neng...."
Bi Didah membuka pintu setiap ruangan, mencari keberadaan Rania.
Itu dia, Rania sedang duduk menekuk lutut dengan bahu terguncang di sudut Mushola rumah. Bi Didah mendekat, merengkuh bahunya.
"Neng Rania tidak apa-apa?"
Bi Didah bertanya hati-hati.
Rania menggeleng

"Maafkan Den Arjuna Neng, tadi Den Arjuna ke kamar Neng Rania mau meminta maaf, tapi neng Rania sedang mengaji jadi Den Arjuna tidak berani mengganggu jadi menunggu di luar sambil bersandar ke pintu."
elas Bi Didah, sama persis dengan penjelasan Arjuna.
"Bibi percaya gitu aja?"
Tanya Rania pelan dengan suara yang masih terdengar serak.
"Bibi sudah kenal Den Arjuna sejak kecil Neng, Bibi tau betul Den Arjuna gak mungkin berani berbohong."
"Tadi waktu bibi lihat Den Arjuna menampar Neng Rania juga bibi kaget karena Den Arjuna tidak pernah bersikap kasar sebelumnya sama siapapun apalagi sampai main tangan sama perempuan."
Rania terdiam, Bi Didah mengelus kepala Rania lembut.
"Neng, Bibi mau minta tolong..."
Ragu Bi Didah melanjutkan kalimatnya
"Apa Bi?"

Bi Didah menarik nafas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bicara lagi.
"Tolongin Den Arjuna Neng, darahnya ngalir terus, Bibi gak bisa bantu bersihin, Bibi takut Darah."
"Tolong lakukan ini untuk Bibi, lusa Ibu pulang, Bibi takut ada apa-apa sama Den Arjuna, ibu pasti marah."
Rania bergeming, semakin mengeratkan pelukan pada lututnya.
"Neng Rania mau bantu Bibi kan?"
Hati Rania luruh, kalau bukan Bi Didah yang meminta Rania tidak akan pernah mau lagi bertemu dengan Arjuna apalagi menolongnya.
"Tolong siapakan air dingin, waslap, es batu, verban dan obat luka, obat lukanya ada di lemari obat."
Perintah Rania sambil bangkit dari duduknya, Bi Didah tersenyum lega.
"Baik Neng."

Rania mendekati Arjuna yang sedang menekan-nekan luka di pelipisnya dengan kapas dengan harapan perdarahannya akan segera berhenti tapi usahanya sia-sia karena darah tidak berhenti mengalir.
"Ini waslapnya Neng."
Arjuna melirik ke sumber suara, disana sudah berdiri Rania dan ada Bi Didah di belakangnya.
Rania mencelupkan waslapnya pada mangkok berisi air dingin yang disiapkan Bi Didah, mendekati Arjuna, tanpa bicara, tangan Rania mulai membersihkan pelipis Arjuna sambil sesekali menekan luka yang ada disitu.
"Aahh..."
Arjuna kembali merintih menahan perih.
"Pelan-pelan dong."
Perintah Arjuna saat Rania mengorek-ngorek bagian dalam luka itu dengan waslap, Rania tetap acuh dan meneruskan aksinya.
"Bisa pelan-pelan gak sih? Sakit tau!"

Suara Arjuna mulai meninggi, sesekali ditariknya kepalanya menjauhi Rania menghindari rasa sakit.
Rania masih bungkam, hanya tangannya yang bekerja, membersihkan luka dengan teliti. Rania mendekatkan matanya pada pelipis Arjuna, meneliti keadaan luka untuk memastikan kalau lukanya memang sudah bersih. Jarak Rania dan Arjuna semakin dekat membuat degup jantung Arjuna seperti berloncatan, hatinya bersedir, terlebih saat wajah mereka nyaris beradu. Saking dekatnya Rania sampai bisa merasakan hembusan nafas Arjuna yang entah kenapa membuat aliran darah sekujur tubuh Rania menghangat dan dadanya bergemuruh hebat.
"Lukanya tidak apa-apa."
Rania menarik tubuhnya ke posisi semula, berhadapan dengan Arjuna sambil berharap semoga Arjuna tidak melihat perubahan warna mukanya yang pasti sudah kemerahan.
Tangan Rania membungkus es batu dengan waslap dengan sedikit gemetar, ya Rabb ada apa dengan aku? kenapa jadi nervous begini? Rania menggerutu dalam hatinya.

"Nih kompres sendiri, jangan manja."
Rania menyerahkan es batu yang terbungkus waslap pada Arjuna.
"Lukanya kecil kok jadi gak perlu ke rumah sakit untuk di jahit, tapi tadi kayaknya ada pembuluh darahnya yang kena jadi perdarahannya agak susah dihentikan, tapi gak apa-apa kok, dikompres air es sebentar juga berhenti."
Jelas Rania pada Bi Didah, untuk membuat hati perempuan itu tenang.
"Alhamdulillah, syukurlah."
Di Didah tampak lega.

===================
Rania menyodorkan mangkok kecil berisi dua butir obat, obat antibiotik dan obat anti nyeri pada Arjuna yang sedang asyik membaca di teras samping dekat kolam renang.
"Diminum obatnya Den."
"Obat apa lagi? kan terapi aku udah selesai, aku udah sembuh, udah gak perlu minum obat lagi."
"Ini obat untuk luka di pelipis biar cepat kering" jelas Rania, matanya melirik pada verban di pelipis Arjuna.
"Simpan aja di meja, nanti aku minum."
"Minum sekarang aja Den, kan dari kemarin belum minum obat, harusnya ini diminum dari kemarin saat luka masih baru."
"Iya nanti aku minum."
"Sekarang Den."
Hhmm....Arjuna menarik nafas panjang.
"Sini."
Rania menyerahkan dua butir obat dan segelas air putih pada Arjuna dan Arjunapun langsung menurut, meminumnya, persis seperti anak kecil yang disuruh minum obat sama ibunya.

Setelah mengambil kembali gelas kosong dari Arjuna, Raniapun pamit untuk melanjutkan aktivitasnya di dapur bersama Bi Didah. Hari ini Rania dan Bi Didah berencana membuat kue-kue kering untuk persiapan kepulangan bapak dan ibu Dibyo juga Bu Rima.
"Thanks ya Rania."
Ucap Arjuna pelan setengah berbisik, tapi sangat jelas terdengar oleh Rania
"Ada apa Den?"
Rania berbalik, mendekati Arjuna lagi, pura-pura tidak mendengar jelas apa saja yang baru saja dikatakan Arjuna.
Arjuna mendadak salah tingkah, bibirnya terasa kelu.
"Sorry."
Ucap Arjuna akhirnya
"Untuk?"
"Semuanya."
"Seandainya kata maaf bisa menghapus semua kesalahan yang sudah terlanjur terjadi mungkin tidak akan pernah ada istilah sakit hati."
"Aku tulus minta maaf, tapi bukan untuk mendengar ceramah kamu."
Arjuna menggerutu, ketus.
Rania tersenyum, manis.
Plisss Rania, jangan tersenyum semanis itu dihadapan ku, teriak Arjuna dalam hati.
"Rania...."
Panggil Arjuna lembut, kini Rania yang dibuatnya salah tingkah, selama ini belum pernah Arjuna menyebut nama Rania selembut itu.
"Iya ada yang bisa saya bantu lagi Den?" 

Arjuna menatap Rania lamat-lamat, Rania menunduk, tidak menyukai sorotan mata bening itu yang akhir-akhir ini sering mengusik kedamaian hatinya. Arjuna mendekati Rania yang sedang berdiri dihadapannya, Rania mundur beberapa langkah.
"Gak usah takut, aku gak akan gigit kamu."
Arjuna kesal dengan sikap Rania yang masih saja tampak ketakutan pada Arjuna padahal Arjuna sudah tulus meminta maaf atas semua kesalahannya.
"Boleh aku meminta sesuatu?"

Rania mulai merasa tidak nyaman dan mencium sesuatu yang tidak beres dengan Arjuna, teringat apa yang dilihatnya saat pulang dari Jogja, Michelle yang menangis meminta pertanggungjawaban Arjuna atas kehamilannya. Jangan sampai Rania terperangkap rayuan maut Arjuna. Rania mundur lagi satu langkah. Arjuna mendengus, berbalik arah lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa.
"Aku bukan monster jadi kamu gak usah ketakutan kayak gitu."
Arjuna mendengus.
"Jangan bilang mama kalau Michelle sering kesini selama mama hajian."
Pinta Arjuna.
"Jadi, Den Arjuna mau lepas tanggung jawab?"
Rania menyelidik, berusaha mendalami manik mata Arjuna, memang benar laki-laki yang ada dihadapannya ini benar-benar laki-laki brengsek.
"Tanggung jawab apa? aku tidak pernah menjanjikan apapun pada Michelle."
"Tapi bayi yang ada dalam kandungan Non Michelle perlu tanggungjawab seorang ayah."
Arjuna terbelalak, menatap Rania penuh selidik.
"Maksud kamu apa? bayi siapa?"
"Pulang dari Jogja tak sengaja saya melihat Den Arjuna sama Non Michelle berpelukan dan Non Michelle bilang kalau Non Michelle hamil."

"Semuanya tidak seperti yang kamu lihat, aku tidak pernah sejauh itu pada Michelle, aku memang brengsek tapi aku juga tahu batasan, tau bagaimana cara menjaga kehormatan keluarga aku."
"Itu urusan Den Arjuna, Den Arjuna tidak perlu menjelaskan apapun pada saya, maaf Den saya permisi."
"Tunggu Rania."
Arjuna menghentikan langkah Rania.
"Aku perlu menjelaskan ini sama kamu, karena...."
Arjuna menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, ragu.
"Karena aku gak mau kamu salah faham, aku memang tidak sebaik Farhan, calon suami kamu tapi aku...., aahh...sudahlah."
Arjuna berlalu meninggalkan Rania yang semakin tidak mengerti dengan sikap Arjuna.

===================
"Neng Rania ada tamunya Den Arjuna tapi Den Arjunanya lagi mandi, tolong bawain minum untuk tamunya Bibi tanggung ini lagi masak."
"Non Michelle Bi?"
"Bukan, Den Satria, sahabat dan sekaligus teman kantornya Den Arjuna."
Rania membawa dua gelas air perasan lemon campur madu dan sedikit es batu juga dua toples kecil cemilan.
"Silahkan di minum dulu Den, Den Arjuna nya sedang mandi dulu."
Tawar Rania sopan.
"Dokter Nia? kamu dokter Nia kan?"
Rania mengangkat wajahnya, meneliti laki-laki tamunya Arjuna yang menyapanya dengan sapaan dokter Nia.
Rania menarik kedua ujung bibirnya, tersenyum kecil.
"Benar kan kamu dokter Nia, masih inget aku gak? aku Satria pasien dokter Nia yang digigit ular waktu kemping di Pondok Halimun."

Laki-laki itu menjelaskan, membantu Rania untuk mengingat kejadian yang lalu. Rania mengumpulkan ingatannya dan akhirnya ingat satu kejadian yang membuatnya ingin tertawa. Ya, Rania ingat kejadian waktu itu.
"Sudah ingat?"
Rania mengangguk.
"Bagaimana mungkin aku lupa dengan pasien yang menggigit tanganku karena gak mau lukanya dibersihkan."
Satria tertawa diikuti senyum Rania.

"Jadi bener kan ini kamu? aku pernah lihat kamu sekilas di kantor, keluar dari ruangannya Arjuna, tapi Arjuna bilang itu pembantunya tapi aku bilang itu dokter Nia yang menyelamatkan aku yang hampir mati keracunan bisa ular,
tapi Arjuna tetap aja gak percaya."

"Setelah kejadian itu aku jadi banyak cari info tentang kamu lho, aku follow IG kamu, banyak baca tentang kamu juga dari media online. Dan ternyata woowwww...kamu ini sungguh luar biasa, bukan cuma pintar secara akademik tapi juga pintar berbisnis, jiwa sosial kamu juga keren, belum lagi ilmu agama yang kamu miliki, bikin banyak cowok klepek-klepek termasuk aku."
Satria tertawa renyah, memamerkan gigi putihnya yang rapi bersih.

"By the way kenapa kamu menolak untuk jadi brand ambasador produk skin care itu? padahal itu bagus lho untuk karier kamu jadi dokterpreuner."
"Gini lho Den..."
"Duhh jangan panggil Den dong, panggil Satria aja, kamu cuma pembantu bagi Arjuna tapi bagi aku kamu dokter favorit aku."
Satria tersenyum menggoda.
"Apa aku gak lancang panggil kamu dengan panggilan nama?"
"Ya nggak lah, eh apa tadi jawaban kamu kenapa kamu menolak jadi brand ambasador produk skin care terkenal itu?"

"Hukum bekerja bagi perempuan itu mubah, boleh, dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Ketika bekerja wanita itu tidak boleh membuka aurat, tidak tabarruj yaitu dandan berlebihan sehingga menarik perhatian banyak orang terutama laki-laki, terus saat bekerja tidak boleh berkhalwat, berdua-duaan dengan laki-laki non mahrom. Dan tidak boleh ikhtilat juga, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan yang sudah berstatus sebagai istri maka wajib meminta ijin pada suaminya, jika sumainya mengijinkan baru boleh bekerja. Dan ketika memilih jenis pekerjaan pun dalam Islam sudah ada aturannya, perempuan itu tidak boleh bekerja dengan menonjolkan sisi feminitasnya tapi harus bekerja karena keahliannya. 

Misalnya aku, aku boleh bekerja sebagai dokter karena aku punya kemampuan untuk mendiagnosa penyakit dan mengobatinya tapi aku tidak boleh bekerja dengan menjual kecantikan wajahku misalnya untuk meningkatkan omset penjualan sebuah produk, itu artinya aku bekerja dengan mengeksploitasi apa yang ada dalam tubuh aku bukan karena skill aku, makanya aku menolak, aku tidak mau menjadi komoditi para kapitalis untuk menaikkan omset penjualan produk mereka dengan mengeksploitasi bagian-bagian tubuhku dan dipertontonkan pada banyak orang termasuk laki-laki yang bukan mahrom aku, itu terlalu hina, sedangkan Islam menempatkan perempuan itu sebagai mahluk yang terhormat, menjaga kemuliaannya dengan jilbab dan kerudung."

Panjang lebar Rania menjelaskan, Satria manggut-manggut.
"Aku tidak yakin Arjuna tidak jatuh cinta sama kamu apalagi setiap hari kalian ketemu."
"Kamu berlebihan Satria, mana mungkin Arjuna tertarik sama perempuan seperti aku, dan lagi aku sudah punya calon suami dan akan segera menikah dalam waktu dekat."
"Seriously? terus perjuangan Arjuna sia-sia dong sampai mengejar kamu ke Jogja."
"Den Arjuna ke Jogja? kapan?"
"Waktu kamu workshop dan simposium di hotel Neo Malioboro Arjuna menyusul kamu kesana, memangnya kalian tidak bertemu?"
Rania menggeleng.
"Play boy itu kayaknya kena batunya."
Tawa Satria pecah berbarengan dengan kedatangan Arjuna.
"Gak sopan pembantu ngajak ngobrol tamu majikannya berlama-lama apalagi sampai cekikikan kayak gitu."

Arjuna tidak suka melihat keakraban Rania dan Satria, apalagi Arjuna tahu bahwa Satria sudah mengenal sosok Rania sebelumnya.
"Itu kepala kamu kenapa? pantesan gak ngantor lagi, ini ada yang harus kamu tanda tangan segera."
Satria menyodorkan map berisi file yang dibawanya.
"Ini kepala lo sampai di verban gini kenapa?"
Tanya Satria lagi sambil menyentuh verban di pelipis Arjuna.
"Jangan di pegang nanti infeksi"
"Iya itu kenapa?"
"Ditendang cewek sampe kejedot kayu, untung cuma luka, kalau sampai gegar otak udah aku laporin polisi tuh cewek."
Arjuna melirik ke arah Rania, yang dilirik sedang memalingkan wajahnya ke arah yang lain.
"Maaf saya permisi dulu, silahkan diminum Den."
Mata Arjuna mengikuti Rania yang berjalan tergesa hingga hilang dibalik tembok penyekat ruangan.

"Udah gua bilang dia itu dokter Nia yang pernah gua ceritain, udah dong lo jangan galak-galak sama dia, kasian cewek secantik itu hidup penuh tekanan dan menderita di rumah ini, mendingan gua ajak tinggal di rumah gua dah, biar gua jadiin ratu."
"Nih udah gua tandatangan, cepetan balik ke kantor, jangan bikin rusuh disini."

===================
Rania duduk di bangku ayunan taman belakang, udara malam yang dingin mengigit tulangnya. Rania merapatkan sweater yang dipakainya. Dua hari lagi ibu akan pulang, itu artinya dua hari lagi Rania akan kembali ke kehidupannya. Mengurusi persiapan pernikahannya dengan Farhan, kembali ke rumah tahfidz mengajar anak-anak menghafal Al Qur'an, bekerja di rumah sakit sambil mempersiapkan diri untuk ujian masuk program pendidikan dokter spesialis kardiovaskuler juga mengurusi bisnisnya.
Farhan....

Tiba-tiba Rania teringat laki-laki itu, jam segini pasti sedang mengajar anak-anak mengaji di pesantrennya. Farhan adalah salah satu alasan kenapa Rania ingin menjadi dokter spesialis kardiovaskuler.
"Ada Fauzan nyari kamu, ada di teras depan."
Entah sejak kapan Arjuna ada di dekat Rania.
"Kenapa kamu menolak Fauzan dan lebih memilih Farhan?"
Kali ini suara Arjuna melunak, tidak emosional seperti biasanya.
Rania tersenyum, tiba-tiba saja bayangan wajah Farhan terlintas. Rania menerawang.

"Mungkin di mata Den Arjuna, Mas Fauzan dan Den Arjuna jauh lebih baik dari kang Farhan. Mas Fauzan dan Den Arjuna punya karier yang bagus, berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga terhormat yang kaya raya dan semua itu satupun tidak di miliki kang Farhan, kang Farhan cuma lulusan SD tapi hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk belajar, Kang Farhan tidak sekolah formal karena konsentrasi untuk mempelajari ilmu agama di pesantren, Kang Farhan bukan hanya hafal Al Qur'an dengan fasih, tapi hafal ribuan hadist, ilmu balaghahnya luar biasa, menguasai banyak kitab fiqih klasik dan fiqih kontemporer. Dan yang terpenting dari semua itu kita mempunyai visi hidup yang sama, ingin mendedikasikan semua ilmu yang kita miliki untuk orang-orang yang tidak mampu menjangkau pendidikan yang layak karena kemiskinan yang membelit mereka, sama seperti saya dan Kang Farhan dulu. Saya bisa sampai di titik ini karena kemurahan hati orang-orang seperti ibu Den Arjuna dan papanya Mas Fauzan yang peduli dengan orang-orang miskin seperti kami.

Meski Kang Farhan mendapat tawaran menarik untuk menjadi guru dan sekaligus mengelola rumah tahfidz di London tapi Kang Farhan tetap bersikeras untuk tinggal di kampung saja, membagikan ilmunya untuk orang-orang kampung tanpa pamrih. Kami bukan tidak butuh uang tapi kami sadar tidak mau uang melalaikan kami sehingga lupa untuk mempersiapkan bekal untuk kehidupan mendatang, toh mati tidak membawa apa-apa selain amal, hanya butuh lobang berukuran 1x2 meter dan selembar kain kapan yang harganya cuma seratus ribuan. Memilih pasangan hidup itu harus memperhatikan empat hal, pilihlah karena baik keturunannya, baik latar belakang keluarganya, boleh juga memilih karena kekayaannya dan agamanya, tapi siapa saja yang memilih pasangan hidup karena kebaikan agamanya maka insyaallah kita akan beruntung."

Rania mengakhiri kalimatnya dengan senyum, semoga pilihannya yang jatuh pada Farhan Allah ridhoi, harapnya.

Arjuna seperti ditampar bolak-balik mendengar penuturan Rania. Sekarang Arjuna faham kenapa Rania memilih Farhan untuk menggenapkan setengah dari agamanya. Tiba-tiba saja Arjuna merasa kerdil, semua yang dibanggakannya selama ini tidak bernilai apa-apa.
"Neng Rania, ada tamu di depan sudah lama menunggu."
"Iya Bi sebentar, maaf Den saya permisi."

----

#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 10
Oleh: Khayzuran

Arjuna mengikuti langkah Rania dengan ujung matanya, ternyata perempuan itu jauh lebih hebat dari yang dia kira. Pantas saja Rania berani menolak lamaran Fauzan karena Rania dan Farhan sudah punya segalanya menurut versi mereka. Mereka tidak berlelah-lelah mengejar dunia, tidak menghabiskan banyak waktu dan energi untuk memenuhi semua keinginan yang tidak akan pernah habis, keinginan akan selalu mengejar kita. Rania dan Farhan sepertinya sudah sempurna memaknai kata "cukup" dengan menikmati apa yang ada dengan penuh rasa syukur.

Arjuna meremas rambutnya, kepalanya menengadah menantang langit malam yang dipenuhi taburan bintang, lalu bagaimana dengan aku Rania? hati Arjuna tiba-tiba terasa hampa, sudah merasa kehilangan sesuatu yang dimiliki saja belum. Kebersamaanya dengan Rania di rumah ini tinggal dua hari lagi, sangat singkat. Arjuna harus melakukan sesuatu kalau tidak ingin menyesal seumur hidup.
Entah sejak kapan hati Arjuna mulai berdesir jika bertemu Rania, bahkan ketika namanya disebut saja getaran-getaran di hati Arjuna semakin menguat, bukan setelah mengetahui sosok Rania yang sesungguhnya tapi jauh sebelum itu. Ada sisi lain dari Rania yang berbeda dari perempuan kebanyakan dan itu yang membuat Arjuna selalu menatap Rania diam-diam. Ada rasa bahagia saat melihatnya tersenyum meski dari kejauhan dan senyum Rania tidak diperuntukkan untuk Arjuna.
_____________________________________
"Tamunya Rania sudah disuguhi minum Bi?"
"Ini sudah Bibi beresin lagi Den."
"Memangnya sudah pulang lagi?"
"Sudah Den, cuma ngasihin buku aja untuk Neng Rania abis itu langsung disuruh pulang lagi sama Neng Rania."
"Rania sama Fauzan gak ngobrol dulu?"
"Nggak Den, Neng Rania bilang sama tamunya gak bisa terima tamu laki-laki lama-lama dan ngobrol berdua karena bukan mahrom, jadi waktu bukunya udah dikasihin tamunya Neng Rania langsung pulang."
"Terus Fauzannya gimana?"
"Ya pulang Den, Neng Rania bilang sama tamunya katanya besok aja ngobrolnya di rumah sakit."
"Sekarang Ranianya dimana?"
"Ada di kamarnya Den."
"Bisa panggilin Rania Bi? aku ada perlu."
"Baik Den."

Ajuna gelisah meunggu Rania, tangan dan kakinya terasa dingin tapi keringat menetes di pelipisnya. Arjuna sibuk menata hati, meredam gemuruh yang menderu di setiap relungnya. Bibirnya komat kamit seperti sedang belajar melafalkan sesuatu.
"Ada yang bisa saya bantu Den?"
Suara Rania membuat detak jantung Ajuna nyaris berhenti, Rania sudah ada dihadapan Arjuna.
Wajah Ajuna pucat, bibirnya kelu.
"Aku....."


bersambung ...