Persaudaraan Muslimah Indonesia, mempelajari Islam Secara Menyeluruh.

Minggu, 05 April 2020

#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA 1- 5

#RANIA_DAN_SEPOTONGHATI_YANG_TERLUKA
Part 1
Oleh: Khayzuran

Rania berdiri didepan pintu gerbang tinggi sebuah rumah mewah bercat putih bertuliskan no 36. Sepertinya ini rumahnya, bisik Rania pada diri sendiri, lalu ia menarik nafas panjang seolah bersiap untuk menghadapi sesuatu yang melelahkan. Dengan bismillah Rania memencet bel yang bertengger di tembok sisi kanan daun pintu gerbang. Tak lama, seorang laki-laki berseragam security muncul.

"Cari siapa mbak?" Tanyanya ramah.
"Saya Rania...."

"Oh Neng Rania anaknya Bu Rima ya? Mari masuk Neng."
Laki-laki yang diseragam dinasnya bertuliskan nama "Asep" memotong kalimat Rania, dengan sigap ia menggeser pintu gerbang mempersilahkan Rania masuk.
"Den Arjuna jam segini biasanya lagi baca buku di teras dekat kolam renang, Neng Rania silahkan masuk saja atau mau saya antar?"
Tawar Pak Asep.
"Gak usah pak, terimakasih."
"Panggil aja mang Asep, jangan bapak, saya kan belum tua-tua amat Neng"
Protes Mang Asep. Rania menyunggingkan senyum sebelum berlalu melangkahkan kakinya memasuki rumah besar tapi sepi itu.
Setelah melewati beberapa ruangan akhirnya Rania menemukan tempat yang menurut Mang Asep Den Arjunanya sedang berada di sana, teras samping rumah yang ada kolam renangnya. Dan benar saja ada seseorang yang duduk di kursi roda tampaknya sedang asyik membaca buku sambil menghadap kolam renang, membelakangi tempat Rania berdiri saat ini. Rania melangkah mendekat.

"Assalamualaikum, saya Rania...."
"Kamar kamu ada di belakang, dekat dapur belok kiri, simpan saja semua barang-barang kamu dan istirahat saja dulu di sana, saya sedang tidak memerlukan apa-apa dan sedang tidak ingin diganggu."

Ucap laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangan dari buku yg ada digenggamannya.
"Baik."
Rania menurut tanpa banyak bertanya, ibu Rima, ibunya Rania sudah mewanti-wanti Rania untuk menuruti semua perintah tuan mudanya tanpa banyak bertanya. Ibu juga sudah menuliskan sejumlah tugas yang harus Rania kerjakan lengkap dengan jam dan deskripsi tugasnya.

"Keluarga ibu Dibyo sudah sangat baik pada keluarga kita, jadi tolong lakukan yang terbaik, gak lama Rania, cuma 40 hari."
Pinta ibu beberapa hari sebelum keberangkatannya ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji bersama bapak dan ibu Dibyo. Rania diminta ibu untuk menggantikan tugasnya sebagai pembantu di rumah ibu Dibyo, hanya mengurus tuan muda yang lagi sakit karena untuk makan sudah ada catering langganan, untuk bersih-bersih rumah ada Bi Didah, istrinya Mang Asep. Ya memang keluarga ibu Dibyo sudah sangat baik, ibu sudah bekerja di keluarga ini sejak Rania masih balita, kalau kurang biaya untuk keperluan sekolah Rania, ibu Dibyo sering membantu bahkan ibu saat ini diajak mereka menunaikan ibadah haji, hal yang sangat membahagiakan untuk ibu dan cita-cita ibu sejak lama.

Dari kecil Rania tinggal dengan nenek, hanya bertemu ibu satu tahun sekali saat hari raya Iedul Fitri saja. Ibu tidak pernah membawa Rania ke kediaman keluarga Dibyo yang ada di luar kota, keluarga Dibyo pun tidak pernah sekalipun berkunjung ke rumah ibu. Jadi inilah kali pertama Rania tahu tempat ibunya menghabiskan waktu belasan tahun mengais rezeki demi menghidupi Rania dan nenek setelah ayah Rania meninggal karena kecelakaan.

Rania membereskan baju yang dibawanya di lemari, ada beberapa baju ibu di sana. Mata Rania mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar yang biasa dipakai ibunya istirahat. Baru saja Rania akan merebahkan tubuhnya di tempat tidur tiba-tiba suara bunyi bel mengagetkannya. Rania bergegas mengeluarkan buku kecil dari tas ransel yang tadi dibawanya. Jam 10 tepat, waktunya Den Arjuna minum obat. 

Rania keluar kamar menuju lemari obat yang terletak tak jauh dari meja makan. Banyak sekali obat-obatan di sana, Rania menelitinya satu persatu lalu memisahkan obat-obat yang terjadwal diminum jam 10 pagi.

Rania menata baki berisi segelas air putih dan beberapa obat yang disimpan dalam mangkok kecil, berjalan tergesa menuju kolam renang tempat tuan mudanya tadi berjemur sambil membaca buku, tapi ternyata tuan mudanya sudah tidak berada di sana. Rania celingukan mencari-cari, membuka pintu ruangan satu persatu tapi sosok yang dicarinya tidak ditemukan juga.
"Mana obatnya."
"Astaghfirullah..."
Baki yang dipegang Rania nyaris jatuh demi mendengar suara yang muncul dari arah belakang. 

Rania menyodorkan obat yang telah dikeluarkan dari cangkangnya diikuti dengan segelas air putih. Lelaki muda itu mengambil obat dan gelas minumnya tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah Rania. 

"Glek" sekali telan 3 butir obat, setelah menyodorkan gelas minum yang kosong lelaki muda itupun memutar kursi rodanya menjauhi Rania, sepertinya dia menuju perpustakaan dekat kamar utama. Rania mengikuti dari belakang, perlahan. Lelaki muda itu menghentikan kursi rodanya, sepertinya ia menyadari kalau Rania mengikutinya dari belakang.
"Ada lagi yang bisa saya bantu?"
Tawar Rania dengan sedikit gusar.
"Bu Rima gak bilang kalau aku gak suka diajak banyak bicara sama orang asing?"
Tanyanya sinis, Rania menarik nafas dalam. Sabar Rania, gak lama, cuma 40 hari, hibur Rania dalam hati.
"Maaf Den, ibu meminta saya untuk merawat Den Arjuna dengan baik, ini hari pertama saya bekerja, jadi saya mohon maaf kalau banyak hal yang belum saya fahami."

Lelaki itu memutar kursi rodanya menghadap Rania, untuk pertama kalinya dia mengangkat wajah dan melihat ke arah Rania yang saat itu sedang tertunduk.
Lelaki muda itu memperhatikan perempuan sederhana yang berdiri dihadapannya, gamis warna purple, kerudung hitam lengkap dengan kaos kaki.
"Merawat itu tidak sama dengan memata-matai. Jangan menampakkan diri dihadapan aku kalau aku tidak minta, tidur saja di kamar kamu atau cari kesibukan lain di belakang."
Perintahnya dengan suara datar.

Rania mengangguk, tentu saja lelaki muda itu tidak melihat anggukan Rania karena sudah berbalik menuju perpustakaan.
"Den Arjuna sebenernya baik, tapi sejak kecelakaan dan kakinya lumpuh jadi berubah mudah marah dan suka menyendiri."
Info dari ibu.
Rania menuju dapur, membuka kulkas, laci-laci berisi bumbu dapur, toples-toples berisi bahan kue, membuat senyumnya merekah. Meski ibu Dibyo sudah punya langganan cathring untuk memenuhi kebutuhan makan semua penghuni rumah ini, tapi dapurnya yang luas penuh dengan bahan makanan, sayuran, daging, buah dan bahan yang lainnya, mungkin untuk jaga-jaga kalau ada kendala dengan cateringnya.

Masih jam 10 ada waktu sekitar 2 jam sebelum dzuhur, waktu yang cukup untuk bermain dengan mixer dan adonan untuk bikin cemilan.
Rania tersenyum menatap almond cookies hangat yang ada di loyang, baru keluar dari oven. Gerakannya lincah mencari toples yang akan dia gunakan untuk menata cookies.
Tanpa disadari Rania, ada sepasang mata teduh yang dari kejauhan memperhatikan tingkah riang Rania menjelajah dapur, beberapa kali ia harus menelan air liurnya saat tercium aroma almond cookies kesukaannya, Bi Rima sering membuatkan cookies itu untuknya.
_________________________________________
Rania menata meja makan, makanan dari catering sudah datang, tugas Rania hanya menatanya di meja makan agar lebih menggugah selera tuan mudanya yang harus makan malam sebelum menelan beberapa butir obat.
Rania mengetuk pintu kamar Arjuna.
"Makan malam dan obat sudah siap di meja makan." 

Tanpa menunggu jawaban dari dalam kamar, Rania langsung pergi menghindari pertemuan dengan Arjuna, ia belum sholat isya dan ada beberapa buku yang harus segera dia baca.
Baru selesai melipat mukena bel tanda bahwa tuan mudanya memerlukan bantuannya sudah berbunyi. Rania menyambar kerudung yang tergantung di sandaran kursi, setengah berlari menuju ruang makan.
Hidangan di meja makan masih utuh, tampaknya belum disentuh sedikitpun.
"Bikinin mie rebus pake irisan cabe."
Perintah Arjuna pada Rania.
"Untuk?"
Tanya Rania heran, matanya melirik pada hidangan yang tampak lezat di meja makan.
"Bu Rima gak bilang kalau aku gak suka perintahku dibantah?"
"Saya bukan membantah, hanya bertanya untuk siapa mie rebus? apa makanan segini banyak masih kurang?"
Arjuna mendelik tidak suka.
"Aku tuan rumah disini, kamu pembantu aku, aku punya kuasa penuh atas rumah ini, mau melakukan dan minta apapun terserah aku, justru kamu yang tak punya hak sama sekali bahkan untuk memakai bahan-bahan kue dan peralatan masak ibuku."

Rania terkejut, dari mana tuan mudanya tahu kalau tadi siang Rania bereksperimen di dapur. Rania menunduk.
"Dalam waktu 5 menit mie rebusnya harus sudah ada di meja teras samping, setelah itu kamu ajak mang Asep dan Bi Didah untuk menghabiskan semua makanan ini."
Arjuna memutar kursi roda, berlalu meninggalkan Rania.
Cuma 40 hari Rania, sabar....

===========================
"Sini saya bantu."
Rania meletakkan semangkok mie rebus panas di meja lalu mengambil sebuah buku di rak yang sedari tadi susah payah digapai Arjuna.
"Ini."
Dengan seulas senyum Rania menyodorkan buku pada Arjuna.
"Jangan pernah menyentuh apapun milikku termasuk buku-buku aku disini."
Arjuna mendesis, matanya yang teduh membulat tajam, rahangnya mengatup.
Arjuna mengibaskan buku yang disodorkan Rania hingga buku itu jatuh ke lantai.
Rania memungut buku itu, meletakkannya lagi di rak, lalu pergi tanpa berkata sepatah katapun, sudut matanya menghangat. Rania inget ibu, apa ibunya sering diperlakukan seperti ini sama tuan mudanya? Maafkan Rania Bu. Rania menghapus air matanya yang nyaris jatuh dengan ujung kerudungnya.
Arjuna melirik sosok Rania yang menghilang dibalik pintu dengan bahu terguncang.

___________________________________________
Menurut jadwal yang ibu berikan hari ini jadwal Arjuna fisioterapi di Rumah sakit.

Setelah sholat subuh Rania menyiapkan sarapan dan bekal untuk Arjuna, kulkas di dapur masih penuh dengan sayuran, buah dan daging yang masih segar jadi bisa memasak banyak pilihan menu, pagi ini sengaja tidak order catering untuk sarapan. 

Pukul 6 pagi di meja makan sudah terhidang sayur bayam bening, perkedel jagung kornet, ayam goreng serundeng, jus jeruk, potongan apel dan melon.
Sebagian sudah dimasukkan ke kotak makan, akan dibawa Rania untuk bekal nanti ke Rumah Sakit.
Ibu bilang itu makanan kesukaan tuan mudanya, gak apa-apalah sesekali sarapan makanan berat.

Arjuna keluar kamar menuju meja makan, wajahnya tampak cerah saat melihat hidangan yang tersaji. Perempuan bergamis navy dan berkerudung biru langit motif flowery tampak sedang sibuk memasukkan makanan ke lunch box.
"Sarapan dulu, Pak Mansyur sudah ada di depan lagi manasin mobil."
Pak Mansyur itu sopir pribadinya Arjuna.
"Panggilin Pak Mansyur, Mang Asep dan Bi Didah, aku gak bisa menghabiskan sarapan ini sendirian, ajak mereka sarapan bareng."
Rania menurut, tidak lama kemudian ketiga orang itu sudah berdiri di sekitar meja makan.
"Ayo sarapan." 

Tanpa menunggu diperintah untuk yang kedua kalinya Pak Mansyur, Mang Asep dan Bi Didah langsung mengambil posisi masing-masing sementara Rania masih berdiri di tempatnya.
"Neng Rania gak makan?"
Tanya Pak Mansyur.
"Lagi puasa kali kan sekarang hari Kamis."
Bi Didah yang menjawab. Rania menyunggingkan senyum manisnya, bahagia melihat mereka suka dengan masakan Rania.
"Ayo habiskan sarapannya kalau enak nanti dibikinin makan malam, jadi gak usah order catering, kan lumayan uang cateringnya bisa kita bagi-bagi." 

Senyum Rania melebar, matanya melirik ke tuan mudanya yang ternyata saat itu sedang menatap Rania, mereka beradu pandang sesaat lalu sama-sama berpaling ke arah lain.
"Hari ini kamu gak usah ikut ke Rumah sakit, aku mau diantar Michelle."
Yesss....Rania bersorak dalam hati, tapi Michelle? Siapa dia?.
"Kalau begitu boleh saya ijin keluar? Insyaallah sebelum ashar saya udah kembali lagi."

Arjuna mengangguk berbarengan dengan suara high heel yg berdentum menapaki lantai marmer rumah keluarga Dibyo.
Seorang perempuan cantik dengan rambut blonde muncul, senyum perempuan itu merekah, pakaiannya anggun dan fashionable, tangan kirinya menenteng tas branded seharga ratusan juta rupiah.
"Hallo sayang udah siap berangkat?"
Perempuan itu memeluk Arjuna dari belakang kursi roda yang diduduki Arjuna.
Rania tersentak sambil istighfar dalam hati melihat pemandangan yang ada di depannya. Arjuna berusaha melepaskan pelukan perempuan cantik itu.
"Sarapan?"
Tawar Arjuna ramah, keramahan yang tidak pernah sekalipun diperlihatkannya pada Rania.
"Aku lagi diet sayang."
Jawab perempuan itu manja.
Diakah Michelle?

Seharusnya Rania tidak kaget melihat gaya pergaulan Arjuna dan Michelle, sebagai orang yang terbiasa hidup di Barat mungkin mereka sudah terbiasa hidup bebas tanpa peduli dengan aturan agama dan norma sosial.
Kata Pak Mansyur, Michelle itu teman kuliahnya Arjuna saat kuliah S1 di universitas Barkeley, Arjuna lanjut sampai S2 di sana sedangkan Michelle pulang ke Indonesia dan mulai merintis bisnis di bidang fashion, jadi wajarlah kalau penampilan Michelle sangat fashionable, berbeda sekali dengan Rania yang terlampau sederhana.

========================
"Turun dimana Neng?"
Sopir angkot membuyarkan lamunan Rania.
"Rumah Sakit Calita Husada Pak."
"Udah kelewat jauh Neng, ngelamun terus sih. Turun disini aja ya terus nyebrang naik angkot lagi kesana."
Diluar perkiraan Rania ternyata urusannya memakan waktu cukup lama untuk diselesaikan sehingga menjelang maghrib baru selesai.

========================
"Ini bukan rumah kos-kosan, kamu disini untuk bekerja, siapkan kamar tamu utama, Michelle mau nginep disini."
Arjuna menghentikan langkah Rania yang baru saja masuk rumah. Pasti ngamuk-ngamuk lagi deh, batin Rania.
"Nginep disini?" tanya Rania meyakinkan.
"Iya, kenapa?"
"Den Arjuna sama Non Michelle kan belum menikah, gak baik anak gadis nginep di rumah laki-laki."
"Apa bedanya sama kamu? Kamu kan nginep di rumah aku juga."
"Tapi aqad saya disini kan bekerja, jadi pembantu Den Arjuna, lagian kan selalu ada Bi Didah juga disini."
"Apa hak kamu melarang aku untuk melakukan apapun di rumah aku?" 

"Saya memang cuma pembantu disini, tapi saya punya kewajiban untuk mengingatkan setiap kesalahan yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri karena saya akan diminta pertanggungjawaban atas itu."
"Ada apa sayang kok ribut-ribut?"
Michelle keluar dari kamar Arjuna sambil mengucek matanya, sepertinya ia baru bangun tidur. Sore-sore gini tidur? tidur di kamar Arjuna pula.
Rania menggigit bibir, hatinya teramat sangat kesal, cape fisik gak masalah buat Rania tapi Rania paling tidak suka menyaksikan manusia-manusia yang hidup liberal tanpa mengindahkan aturan agama dan norma soasial.
"Mandi sana, abis itu kita makan malam, Rania akan masak banyak untuk kita makan malam." 

Selesai sholat Maghrib Rania meminta bantuan Bi Didah untuk memasak, urusan Rania hari ini cukup menguras fisik dan otak sehingga membuatnya teramat lelah, terlebih hari ini Rania puasa.
"Makan aja dulu Neng, biar Bi Didah yang lanjutin masaknya."
"Gak apa-apa Bi, nanggung, nanti aja beresin dulu ini."

Urusan masak untuk makan malam sudah selesai, Rania memilih buka puasa sekaligus makan malam di kamar, dia tidak mau melihat pemandangan yang tidak ingin dilihatnya.
Obat-obatan dan sejumlah vitamin yang harus diminum Arjuna sudah Rania letakkan di meja makan.
Tapi Rania menolak untuk menyiapkan kamar tamu untuk Michelle, ia tidak mau kecipratan dosanya. Rania sudah siap jika Arjuna akan memarahinya karena hal ini.

Di meja makan, Arjuna, Bi Didah, Mang Asep, Pak Mansyur sudah bersiap untuk mencicipi makan malam hasil masakan Rania, sesuai janji Rania tadi pagi malam ini tidak pesan catering karena Rania akan memasaknya.
"Yang masaknya gak makan Bi?"
Tanya Arjuna pada Bi Didah saat matanya tak menemukan sosok Rania.
"Neng Rania makan malam di kamar, katanya ada kerjaan yang harus diselesaikan."
"Kerjaan apa?"
Selidik Arjuna, tugas Rania di rumah ini kan cuma menjaganya, menyiapkan semua kebutuhannya, sok sibuk banget.
"Bibi kurang tahu Den."

===========================
Pagi ini Rania bangun lebih pagi, ia harus menyelesaikan semua tugas melayani tuan mudanya sebelum tuan mudanya keluar dari kamar. Tak ada jadwal masak sarapan pagi ini, pesan catering saja. Obat-obat dan vitamin yang diperlukan Arjuna semua sudah diletakkan di meja teras samping dekat kolam renang, masing-masing disimpan dalam mangkok kecil dan diberi label jam berapa obat-obat itu harus di minum. Snack untuk ngemil Arjuna juga Rania letakkan di meja yang sama, cookies almond buatan tangannya beberapa hari yang lalu. Minuman-minuman kesukaan Arjuna juga sudah Rania letakkan di meja yang sama, jadi besar kemungkinan Arjuna tidak akan membunyikan bel tanda panggilan untuk Rania.

"Done!" Rania mengukir senyum, dengan langkah riang ia kembali menuju kamar. Namun seketika langkahnya terhenti, Rania menahan nafasnya sambil menempelkan tubuhnya pada dinding, giginya gemerutuk menahan amarah. Inilah buah pendidikan sekuler, pendidikan tinggi tapi miskin nilai-nilai agama, akibatnya banyak yang tidak bisa menjaga diri dari perangkap pergaulan bebas. Nauzubillah....Rania bergidik, ia merasa jijik saat melihat Arjuna keluar dari kamar tamu utama dengan kursi rodanya sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk, apa yang sudah laki-laki muda itu lakukan di kamar tamu utama beserta tamu perempuannya? Ya Allah...ampuni hamba yang tidak bisa mencegah semua ini terjadi.

Rania menyelinap lewat teras samping menuju kamarnya di belakang. Pintu kamarnya langsung di kunci lalu menekan tombol off pada bel pararel tanda panggilan dari tuan mudanya. Hari ini Rania benar-benar tidak ingin bertemu dengan Arjuna.
Ibu...ini baru hari ke lima, doakan anakmu agar bisa bertahan untuk menunaikan amanah ibu.

Sebenarnya Rania sudah lama meminta ibu untuk berhenti bekerja, setelah Rania bisa menghasilkan uang sendiri yang cukup untuk hidup layak dirinya dan ibu, tapi ibu selalu menolak dengan alasan bahwa ibu sudah berhutang budi banyak sekali pada keluarga Dibyo dan ibu tidak mungkin mambalasnya secara materi selain dengan bakti. 

Apa ibu tahu kelakuan tuan mudanya seperti itu sama aku?
Seharian itu Rania benar-benar tidak keluar kamar, Rania melahap banyak buku yang kemarin baru ia pinjam dari perpustakaan rumah sakit
.
Hampir jam sebelas malam, semua buku target baca hari ini sudah tamat. Lapar, sepertinya mie rebus panas cukup enak untuk mengganjal rasa laparnya. Semua penghuni rumah pasti sudah terlelap dalam dunia mimpi masing-masing, tak terkecuali tuan mudanya.
Sambil murojaah surat Annisa, Rania memanaskan air dalam panci kecil, setelah air mendidih Rania mencelupkan mie instant ke dalamnya, Rania lebih suka mie rebus original tanpa tambahan apapun, baik telor, sayuran ataupun yang lainnya.

Hanya sampai ayat ke enam puluh Rania mengakhiri murojaahnya, mie instant sudah siap disantap.
"Astaghfirullah...sejak kapan ada disitu?"
Mangkok mie instant Rania hampir jatuh saat tubuh Rania berbalik dan mendapati Arjuna ada di hadapannya.
"Ini rumah aku, aku gak perlu ijin ke siapapun untuk berada di manapun di rumah ini."
Ya Allah...ini orang makannya tabung elpiji kali ya, ngegas mulu ngomongnya, gerutu Rania dalam hati.
"Besok jadwal aku fisioterapi lagi."
"Iya, saya sudah menghubungi pak Mansyur untuk datang jam 7 pagi, saya tidak perlu ikut kan? Ada Non Michelle yang selalu siap menemani Den Arjuna."

"Besok Michelle berangkat ke Shanghai, persiapan acara Shanghai fashion week, jadi kamu besok harus ikut ke rumah sakit."
Ini perintah, "haram" dibantah.
"Gak perlu siapkan bekal makan siang untuk dibawa, disana ada cafetaria yang makanannya layak makan dan jauh lebih enak dari masakan kamu."
"Selama Den Arjuna menjalani fisioterapi bolehkah saya ijin pergi dan kembali saat fisioterapi selesai dan waktunya kita pulang?"
"Mau keluyuran lagi sampai maghrib?"
"Yang penting aku bisa menjaga diri, tidak berzina di rumah sendiri."
"Maksud kamu?"
Rania meletakkan mangkok mie instant yang belum disentuhnya di meja makan, rasa laparnya langsung lenyap.
"Permisi, sudah malam, saya mohon ijin mau tidur, kalau membutuhkan sesuatu tekan bel saja."
"Jangan lupa tekan tombol on pada bel pararelnya."
Duuhh...Rania lupa kalau sejak pagi bel itu dalam keadaan off.

=========================
Rania mendorong kursi roda Arjuna menuju mobil yang terparkir di halaman depan, membantu Arjuna untuk duduk di kursi penumpang, Bi Didah membantu dengan cekatan. Setelah itu Rania duduk di kursi belakang kemudi, Bi Didah duduk di kursi depan di samping Rania.
"Pak Mansyur hari ini ijin gak masuk, anaknya sakit."
Jelas Rania saat melihat dahi Arjuna berkerut.
"Kamu bisa?"
Arjuna bertanya tidak yakin.
"Mungkin pilihannya ada dua sih, kalau gak cepet sampai ke ugd mungkin nyampe ke kantor polisi."
"Jangan main-main kamu, kita pesan taksi online aja, aku gak mau mati konyol."
Rania terkekeh sambil menstarter mobil, berangkat...
"Banyak-banyak berdoa ya tuan muda."
Goda Rania sambil melesat membelah jalan yang padat.

==============================
Bi Didah membantu menurunkan Arjuna dari mobil, mendorong menuju selasar rumah sakit.
"Biar aku aja Bi, bibi tolong bawa ini."
Rania menyerahkan kantong berisi minuman dan makanan ringan, lalu tangannya mengambil alih handle kursi roda Arjuna.
"Lurus, belok kiri."
Petunjuk Arjuna
"Siap tuan."
"Arjuna aja."
"Baik Bapak Arjuna."
"Kapan aku nikah sama ibumu?"
Rania terkekeh, ini orang produksi hormon adrenalinnya over load kali ya, marah-marah terus. Hati-hati Den Arjuna jangan marah-marah terus nanti kegantengannya berkurang lho.
"Rania?"
Seorang laki-laki berjas putih yang berpapasan dengan mereka di selasar Rumah Sakit tampak sumringah mendapati Rania dihadapannya.
"Mas Fauzan."
"Gak nyangka banget kita bisa ketemu disini, long time no see, kamu apa kabar?"
"Hhmm..."
Arjuna berdehem.

Rania menata detak jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak lebih kencang, ya Allah...jangan sekarang, doa Rania dalam hati.
"Oh iya mas Fauzan kenalin ini Arjuna, Arjuna ini mas Fauzan."
"Hallo.. Fauzan"
Dengan sedikit acuh Arjuna menerima uluran tangan Fauzan.
"Rania, mas Arjuna ini..."
"Pasien rutin poliklinik Rahab medik."
Potong Rania cepat.
"Dan Rania ini pembantu di rumah saya, ayo Rania cepat dorong kursi rodanya, Prof Hisyam sepertinya sudah nunggu kita."
"Aku permisi dulu mas, assalamualaikum...."
Rania mendorong kursi roda Arjuna, tak peduli dengan ekspresi muka Fauzan yang pucat pasi. Pembantu?
"Mas? Sweet banget sapaannya."
Arjuna tersenyum sinis, nadanya terdengar mengejek.
"Jauh lebih sweet dari panggilan sayang Non Michelle sama Den Arjuna?"
"Jadi Fauzan itu buat kamu posisinya sama dengan Michelle buat aku?"
Rania bergeming, ada apa sih Dengan tuan mudanya? Rania lebih memilih diam tidak menanggapi. Rania sudah cukup bersyukur Fauzan tidak berkata sesuatu yang saat ini belum saatnya untuk dikatakan.
"Sudah sampai, begitu Den Arjuna masuk, saya ijin keluar ya, insyaallah segera kembali saat fisioterapi Den Arjuna selesai."
Rania berlalu tanpa menunggu jawaban dari Arjuna, tenang ada Bi Didah yang menemani Arjuna terapi, jadi tuan mudanya akan baik-baik saja.
_________________________________________
Pukul sebelas serangkaian fisioterpi Arjuna sudah selesai, Rania belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Ke cafe aja dulu Bi, aku laper."
"Baik Den."
Bi Didah mendorong kursi roda Arjuna menuju cafe yang terletak di Utara Rumah Sakit dekat perpustakaan.
"Bi, kita tunggu Rania di mobil aja, kuncinya ada di bibi kan?"
"Lho, kenapa Den? Katanya laper, itu cafenya udah deket, eh itu kayaknya ada Neng Rania juga sama laki-laki yang tadi kita papasan Den."
Justru karena itulah Arjuna berubah pikiran, karena di cafe ada Rania dan Fauzan. Entahlah, Arjuna merasa tidak suka dengan keakraban kedua mahluk itu.

=============================
Rania tergopoh-gopoh sampai di mobil.
"Maaf ya jadi nunggu, tadi aku ke poli fisioterpi tapi kata prof Hisyam terapinya sudah selesai."
"Iya sudah selesai dari tadi, tadinya kita mau ke cafe dulu karena Den Arjuna lapar, tapi waktu sudah mau sampai Den Arjuna malah minta nunggu di mobil, jadi kita putar arah lagi menuju mobil."
Rania melihat ke arah Arjuna yang sedang pura-pura tidur di kursi penumpang.
"Udah selesai pacarannya? Asyik banget sampai lupa sama majikan sendiri."
Arjuna bergumam sinis masih dengan mata terpejam.
Next?

-----
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
#Part_2
Oleh: Khayzuran

"Ini obatnya, tadi kata prof Hisyam perkembangan Den Arjuna bagus, minggu depan sudah bisa latihan berjalan."
Rania menyodorkan mangkuk kecil berisi tiga butir obat.
"Untuk makan malam mau pesan catering atau mau saya masakin?"
Tawar Rania tulus.
Yang diajak bicara masih tidak mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya, seolah tidak mendengar Rania.
"Hebat ya, seorang pembantu bisa punya pacar seorang dokter."
Gumam Arjuna, membuat aliran darah Rania memanas.

"Kemuliaan seseorang itu tidak ditentukan oleh latar belakang pendidikan, jabatan, profesi dan juga harta, semua manusia sama di mata Allah, kecuali orang yang bertaqwa."
Arjuna tersenyum sinis.
"Saya memang cuma seorang pembantu di rumah ini, ada yang salah?"
"Pakai gamis, kerudung lebar pakai kaos kaki juga tapi pacaran, itu namanya munafik."
"Jangan terlalu prematur menyimpulkan sesuatu sebelum tahu faktanya."
"Sekarang kamu sok pinter banget ya, mentang-mentang punya pacar dokter terus merasa harkat dan derajat kamu udah naik?"
"Mas Fauzan itu...."
Rania menggantungkan kalimatnya, untuk apa juga Rania harus menjelaskan semuanya pada Arjuna.
"Apa?"
"Mas Fauzan itu laki-laki yang baik, minimal dia tidak pernah mempersilahkan perempuan yang dicintainya untuk menginap di rumahnya dan tidur bersamanya sebelum halal."
Rania berlalu meninggalkan Arjuna yang kaget melihat Rania seperti marah.

Rania duduk di ayunan taman belakang rumah, baru sepuluh hari rasanya sudah seperti sepuluh tahun. Ibu, semoga Arjuna tidak pernah memperlakukan ibu sebagaimana dia memperlakukan aku.
Sepasang mata teduh memperhatikan Rania dari balik jendela kamar, ada sedikit sesal yang dirasakan Arjuna, sepertinya Arjuna sudah kelewatan memperlakukan Rania sampai tega berkata-kata kasar dan merendahkannya. Ya, apa salahnya seorang dokter punya kekasih seorang pembantu, toh keduanya pekerjaan yang halal dan mulia bukan? Sama-sama memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan.

Apalagi Rania perempuan yang nyaris sempurna, cantik, taat agama, pinter masak, suaranya saat ngaji sangat merdu, postur tubuhnya gak kalah dengan super model Indonesia, hanya saja Rania kurang beruntung dalam masalah pekerjaan. Meski Rania hanya jadi pembantu dirumahnya selama 40 hari saja menggantikan ibunya yang sedang melaksanakan ibadah haji.

Arjuna mendengus. Apa Arjuna harus meminta maaf pada Rania? Tidak usahlah nanti dia semakin besar kepala dan banyak omong, perang batin dalam hati Arjuna.
 
Rania dan Arjuna sepertinya mempunyai kegemaran yang sama, sama-sama suka membaca buku, tak jarang Arjuna melihat Rania sedang membaca buku disela-sela kesibukannya mengurus Arjuna, seperti saat ini, Rania duduk di ayunan dengan buku tebal di pangkuannya, entah buku apa.

=======================
"Neng Rania ada kiriman paket."
Mang Asep berseru pada Rania yang sedang merapihkan tangkai mawar di taman.
"Untuk aku mang?"
"Iya."
"Dari siapa?"
"Lihat saja."
Rania meraih paket yang diberikan Mang Asep, tidak ada nama pengirimnya, hanya ada nama online shop dan nomor hp nya, tapi benar paket itu ditujukan untuk Rania.
Isi paket itu tiga buah buku resep, resep masakan, resep kue dan olahan buah.

Oke, hari ini tidak usah pesan catering untuk makan siang, Rania berencana mengeksekusi beberapa resep yang ada di buku resep.
Aroma lezat masakan tercium sampai teras samping tempat Arjuna membaca buku di sisi kolam renang. Senyum kecil tersungging dari bibir Arjuna, sepertinya buku resep pesanannya sudah sampai ke tangan Rania, buku resep yang mewakili permintaan maaf Arjuna pada Rania. Arjuna terlalu gengsi untuk mengatakan sepatah kata maaf pada Rania secara langsung.
Di meja makan saat makan siang. 

Dibalik sikapnya yang judes dan arogan, sebenarnya banyak sisi baik Arjuna, salah satunya Arjuna selalu mengajak makan semua orang yang bekerja di rumahnya makan satu meja dengannya.
"Masakan Neng Rania enak sekali, lebih enak dari masakan catering, nanti buka usaha catering aja Neng."
Celoteh Pak Mansyur sambil memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Insyaallah Pak, doain aja ya, sepertinya lebih enak usaha catering dari pada jadi pembantu."
Sindir Rania pedas, ujung matanya melirik Arjuna yang sedang lahap mengunyah masakan Rania.
"Den, AC dan aliran air di kamar sudah selesai dibenerin sama tukang tadi pagi, jadi malam nanti Aden sudah bisa tidur lagi di kamar, nanti bibi bersihkan dulu kamarnya."
"Iya, makasih Bi."
Rania membantu Bi Didah mencuci piring setelah selesai makan siang.
"Bi, non Michelle kok gak pernah kesini lagi?"
"Sepertinya non Michelle sama Den Arjuna masih berantem deh."
"Berantem kenapa Bi?"
"Itu waktu non Michelle mau nginep disini malah disuruh pulang sama Den Arjuna, bibi gak begitu tahu sih tapi bibi lihat non Michelle pulang abis Maghrib sambil cemberut." 

Oohh...jadi waktu itu Michelle tidak jadi menginap? Lalu kejadian Arjuna keringin rambut dengan handuk sambil keluar kamar tamu utama?
Rania menyesali prasangka buruknya.
"Non Michelle memang sering kesini dan menginap Bi?"
"Tidak juga, non Michelle hanya berani datang kesini kalau ibu dan bapak sedang tidak ada, dan sebelumnya juga tidak pernah menginap. Ibu kurang suka sama non Michelle."
Bisik Bi Didah dengan suara rendah.

"Kalau ngerumpinya sudah selesai tolong siapkan makanan dan minuman, sebentar lagi akan ada tamu untuk saya."
Entah dari kapan Arjuna ada di belakang Rania dan Bi Didah yang sedang ngobrol sambil cuci piring. Bi Didah dan Rania saling berpandangan, piring yang sedang di pegang mereka hampir jatuh, badan mereka seketika terasa lemas.
"Baik Den."
Jawab Bi Didah singkat.
___________________________________________
Tampaknya tamu Arjuna sudah datang.
"Maaf prof Hisyam tidak dapat kesini karena sedang mengisi workshop di Bali jadi saya diminta beliau untuk menggantikan. Katanya prof Hisyam sudah mengabari mas Arjuna."
.
Arjuna tidak memegang gawainya dari tadi malam, mungkin prof Hisyam menelepon atau mengabari via WA.
Arjuna menekan salah satu tombol di kursi rodanya, bel pararel, tidak lama kemudian seorang perempuan berkerudung datang.
"Ambilkan handphone di kamar setelah itu ambilkan minum untuk tamu aku." 

Perintah Arjuna pada Rania tanpa menoleh.
"Rania, senang sekali kita bisa ketemu lagi disini."
Senyum Fauzan merekah demi melihat Rania.
"Mas Fauzan ada keperluan apa kesini? Sebentar mas aku ambil minum dulu, mas Fauzan mau minum apa?"
"Jahe panas, ada?"
"Ok, aku siapin dulu."
Aku? Kamu? Arjuna tidak begitu suka dengan sapaan akrab antara Rania dan Fauzan.
Rania datang dengan nampan berisi dua gelas minum, setoples cookies almond dan dua pisin kecil berisi potongan buah segar. Rania menyerahkan handphone yang diminta Arjuna.
"Jahe panas dengan sedikit madu, silahkan mas."
"Juga cookies almond terenak sejagat raya." 

Rania dan Fauzan saling melempar tawa renyah, sementara Arjuna sibuk dengan gawainya.
"Maaf Arjuna om harus mengisi workshop di Bali, jadi hari ini dr. Fauzan yang menggantikan, dia resident rehab medik yang 2 atau 3 bulan lagi akan lulus, tapi percayalah dia calon dokter spesialis rehab medik terbaik yang mungkin nanti akan menggantikan posisi Om."
Pesan dari prof Hisyam yang terlambat di baca Arjuna, kalau tahu Fauzan yang akan menggantikan lebih baik di cancel aja jadwal terapinya.

"Masih mau ngobrol atau kita langsung mulai terapinya?"
"Langsung aja."
"Semua peralatan terapinya sudah ada di ruang fitnes. Rania tolong dorong aku kesana."
Perintah Arjuna ketus.
Rania membuka kunci kursi roda dan bersiap mendorongnya, padahal kursi roda itu kursi roda elektrik yang bisa maju sendiri hanya dengan menekan tombol. Sepertinya Arjuna ingin menegaskan posisi Rania di rumah ini, sebagai pembantunya yang harus patuh dengan semua perintahnya.
"Biar aku aja."
Fauzan mengambil alih.
"Sebagai gantinya aku gak keberatan kamu bikinin prol tape."
"Gak ada tapenya mas, kalau brownies kukus gimana?"
"Nah itu juga pasti lezat."
"Udah kayak bakery aja bisa request menu."
Seloroh Arjuna sambil menjalankan kursi rodanya sendiri secara otomatis menuju ruang fitnes. Rania tersenyum kecil sambil memberi isyarat pada Fauzan bahwa ia akan ke dapur, Fauzan hanya mengangguk sambil tersenyum, manis.
"Kita mulai belajar berdiri dan jalan ya." 

Lalu Fauzan memberi beberapa pengarahan dan instruksi, Arjuna memperhatikan secara seksama, memulai perlahan dengan pengawasan ketat Fauzan.
"Udah lama kenal Rania?"
"Lumayan."
"Kenal dimana?"
Arjuna semakin penasaran, terlebih saat melihat wajah Fauzan yang langsung berbinar.
"Aku mengenal Rania sudah cukup lama, kita ketemu karena tergabung dalam sebuah proyek NGO Turki untuk membangun sebuah rumah tahfidz di Sukabumi Selatan, dan setelah itu kita sering bertemu dalam beberapa kesempatan dan acara yang berbeda."
"Lalu kamu jatuh cinta sama Rania?"
Todong Arjuna, Fuazan tersenyum lagi, raut wajahnya seperti sedang mengenang sesuatu yang indah.
"Iya."
Jawab Fauzan pendek.

-----
#CERBUNG
#Part_3
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Oleh: Khayzuran

"Lalu kamu jatuh cinta pada Rania?"
Todong Arjuna, Fauzan tersenyum, raut wajahnya seperti sedang mengenang sesuatu yang indah.
"Iya."
Jawab Fauzan pendek, membuat Arjuna yang sedang latihan berdiri hampir tersungkur.
"Astaghfirullah...Den Arjuna."
Rania berlari menopang tubuh Arjuna dengan tangannya, Rania datang di detik yang tepat sebelum tubuh Arjuna benar-benar tersungkur.
"Mas Fauzan tolong ambil ini browniesnya." 

Tangan kiri Rania menopang Arjuna dan tangan kanannya berusaha menyelamatkan sepiring brownies hangat buatannya.
Fauzan mengambil piring brownies lalu membantu Rania mendudukkan Arjuna.
"Mas Fauzan patien safety nya gimana ini, sampai pasien nyaris cedera gini."
Rania bersungut, memarahi Fauzan.
"Mas Arjuna gak apa-apa?"
Rania mencemaskan majikannya, ditelitinya setiap inci wujud Arjuna, membuat Arjuna sedikit gugup.
"Alhamdulillah gak apa-apa." 

Rania bernafas lega setelah yakin tuan mudanya tidak apa-apa.
"Sesekali jatuh untuk belajar berdiri gak apa-apa kan? Biar tahu rasanya ada di bawah saat orang lain ada di atas."
Jawab Fauzan santai namun penuh makna.
"Aku capek, sudah boleh istirahat kan?"
Arjuna menyeret kursi rodanya meninggalkan ruangan fitnes.
"Sebentar Mas Arjuna, satu gerakan lagi, setelah itu baru selesai."
Rania berlari membuntuti Arjuna, lalu tangannya meraih handle kursi roda dan mendorongnya memutar, kembali lagi ke tempat fitnes.

"Kalau mau cepet sembuh jangan manja, harus tuntas terapinya."
"Silahkan lanjutin terapinya mas dan jangan lupa cicipi browniesnya selagi hangat, kalau pasiennya bandel cubit aja."
Bisik Rania sebelum meninggalkan Arjuna dan Fauzan.

"Satu gerakan lagi ya Mas Arjuna, gak lama kok karena saya juga harus segera ke rumah sakit, pasien-pasien saya sudah menunggu."
Kalau bukan karena perintah prof Hisyam, Fauzan pasti akan menolak pekerjaan ini.
"Kapan rencana kalian menikah?"
Arjuna memulai lagi, entahlah seperti ada yang aneh dengan hatinya, serasa ada beban berat yang menghimpit dada, sesak.
"Pengennya sih secepatnya, tapi...."
"Tapi apa?"
Arjuna tidak sabar, benar-benar penasaran. Kali ini beberapa syaraf malunya seperti sudah putus, tak peduli.
"Tapi lamaranku di tolak karena Rania sudah punya calon suami."
"Siapa?" 

Kejar Arjuna lagi, ia tidak habis pikir, orang yang nyaris sempurna seperti Fauzan saja ditolak Rania, padahal Rania hanya seorang pembantu dan anak pembantu, tapi berani menolak Fauzan seorang calon dokter spesialis rehab medik yang bertampang indo dan om Hisyam bilang dia berpotensi menjadi dokter spesialis rehab medik terbaik di negeri ini.

"Rania pasti menyesal sudah nolak kamu."
"Orang sehebat Rania pasti tidak sulit mendapat pendamping hidup yang jauh lebih baik dari aku."
"Tunggu...tunggu...yang lagi kita bicarakan ini bukan Rania pembantu aku kan, ada Rania yang lain?"
"Mas Arjuna, saya yakin suatu hari nanti mas Arjuna akan menyesali sikap mas Arjuna yang selalu merendahkan Rania. Mas, hidup itu bukan tentang apa yang kita miliki dan bukan cuma tentang siapa kita, hidup itu ini mas, hati."
Fauzan meletakkan tangan kanan di dadanya.
"Harta yang kita punya, jabatan yang kita sandang, latar belakang keluarga yang kita banggakan, gelar pendidikan yang kita agungkan, semuanya hanya cangkang dan gak akan pernah dibawa mati." 

Lanjut Fauzan sambil mengemasi alat-alat terapi yang sengaja dia bawa.
"Ok, cukup untuk hari ini, jangan lupa latihan mandiri, saya permisi, assalamualaikum."
"Waalaikumsalaam."

Di ruang tengah Fauzan berpapasan dengan Rania, Arjuna memperhatikannya dari kejauhan. Ada yang bersedir semakin hebat di hati Arjuna saat melihat keakraban Rania dan Fauzan, senyum manis Rania selalu terukir saat bicara dengan Fauzan, matanya berbinar. 

Kalau kalian menikah kalian pasti akan jadi pasangan yang sempurna. Dokter Fauzan saja ditolak Rania, apalagi aku? Aku??? Aliran darah ke wajah Arjuna terasa lebih deras, kalau bercermin Arjuna pasti akan melihat gambaran wajahnya yang bersemu merah seperti kepiting rebus karena malu dengan kelakuannya sendiri. Mungkinkah aku cemburu pada Fauzan? Tanya Arjuna pada dirinya sendiri.

-----


#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 4
Oleh: Khayzuran

"Neng Rania, bibi sama neng Rania diminta Den Arjuna nemenin Den Arjuna, katanya ada yang harus di beli."
"Kemana Bi?"
"Gak tau Neng, ke mall kali, atau ke butik langganan ibu."
"Mau beli apa?"
"Bibi juga gak tau, ayo cepetan Den Arjuna sudah nunggu di mobil."
"Bentar Bi, aku rapi-rapi dulu."
"Udah gak usah, segitu juga udah cantik, kalau dandan cantik nanti Den Arjuna kesengsem sama Neng Rania."
Bi Didah berkelakar.
"Lho, pak Mansyurnya mana?"
"Sudah pulang, kamu aja yang nyetir."
"Yakin nih? Gak takut dibawa nyungsep?" 

Rania duduk dibelakang kemudi, memasang seat belt.
Yang dibecandain tidak berekspresi, berpaling ke luar jendela.
"Saya sudah siap, tuan muda mau saya antar kemana?"
Arjuna menyebutkan salah satu mall besar di pusat kota.
Kurang dari setengah jam sudah sampai di tujuan, jalanan tidak terlalu padat seperti biasanya.
"Bi Didah, carikan aku kemeja." 

Perintah Arjuna tapi matanya melirik pada Rania.
Iya kali Bi Didah bisa pilih kemeja untuk cowok kayak Arjuna. Rania cekikikan, dia tahu kalau yang sebenarnya diperintah Arjuna adalah dirinya.
"Ayo Bi aku bantu."
Rania mengajak Bi Didah ke bagian pakaian pria, membiarkan Arjuna sendirian dengan kursi rodanya. Rania bisa menebak kemeja size apa yang pas untuk dikenakan Arjuna. Arjuna menggeser kursi rodanya mengikuti kedua perempuan itu perlahan.
"Ibu....." 

Seorang anak perempuan berusia sekitaran 6 tahun berhambur ke pelukan Rania.
"Ibu, Zahra kangen."
Anak itu memeluk Rania erat, Rania membalasnya tidak kalau erat.
"Ibu juga kangen, Nak."
"Zahra sama siapa kesini sayang?"
"Sama Ayah."
Zahra menunjuk laki-laki yang sedang berdiri di barisan sepatu anak-anak. Laki-laki itu menyadari kehadiran Rania lalu mendekat. Rania melepaskan pelukan Zahra.
"Assalamualaikum, sehat teh?"
"Alhamdulillah kang, kang Farhan gimana?"
"Alhamdulillah sehat, anak-anak juga sehat semua, mereka sepertinya kangen kamu sama seperti Zahra."
"Akang sama Zahra ngapain kesini?" 

"Tadi Zahra abis lomba Hifdzil Qur'an mewakili kabupaten, terus juara satu, jadi Zahra minta hadiah sepatu deh, iya kan Zahra?"
Zahra mengangguk, tangannya bergelayut manja pada tangan Rania seolah tidak ingin melepaskannya.
"Kok gak ngabarin aku? Kalau tahu kan mungkin aja aku bisa anter."
"Kamu ingat kapan terakhir kali kamu menyalakan handphone kamu?"
Ya, sejak menginjakkan kaki di rumah Arjuna, Rania tidak pernah menyalakan handphonenya.
"Maaf kang."
Sesal Rania.
"Kamu tampak kurusan, capek?"
Tanya laki-laki bersahaja itu penuh perhatian, tampak ada kekhawatiran di sorot matanya.
Rania mengangkat kedua bahunya.

"Ya..begitulah kang, namanya juga jadi pembantu."
"Ibu, pilihin sepatu untuk Zahra, ayah dari tadi muter-muter terus nyariin tapi gak ada yang Zahra suka."
Gadis kecil itu merengek.
"Baiklah anak piter, ayo..."
Rania dan Zahra berlari kecil, Zahra tertawa bahagia. Farhan mengikuti dari belakang mereka, persis seperti keluarga kecil yang sedang berbahagia menghabiskan waktu bersama dengan berbelanja. Saking bahagianya Rania sampai lupa dengan Arjuna dan Bi Didah yang menyaksikan Rania, Farhan dan Zahra saling melepas rindu.

Ibu? Rahang Arjuna mengatup. Jadi anak kecil itu anaknya? Dan laki-laki berpenampilan sederhana itu suami Rania?
Laki-laki sederhana yang telah membuat Rania menolak lamaran Fauzan.
Next?
Akan banyak kejutan dari Rania, penasaran?
-----

CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 5
Oleh: Khayzuran

Arjuna mendengus, memutar kursi rodanya, mukanya memerah, Bi Didah berlari berusaha mengejar.
Akhirnya Rania menyerah, semua cara sudah Rania lakukan untuk mencari keberadaan Arjuna dan Bi Didah, memutari setiap penjuru mall bahkan sampai mengumumkan pencariannya di microphone resepsionis mall tapi hasilnya nihil, Bi Didah dan Arjuna tidak juga nampak batang hidungnya. Mall sudah tutup satu jam yang lalu, Rania masih menunggu di mobil, berharap Arjuna dan Bi Didah akan menghampirinya. 

Rania diusir secara halus oleh petugas keamanan mall yang mengabarkan kalau parkiran di basement juga akan segera di tutup. Andaikan Rania membawa handphone dan menyimpan nomor telepon rumah atau nomor handphone salah satu penghuni rumah mungkin Rania tidak akan sebingung ini. 

Rania menstarter mobil, melaju perlahan menuju rumah.
"Mang Asep, Bi Didah sama Den Arjuna udah pulang?"
Rania membuka kaca mobil dan menyembulkan kepalanya saat melewati pos jaga Mang Asep.
"Sudah dari tadi Neng, kok gak bareng? Neng Rania kemana dulu?"

Bukannya menjawab pertanyaan Mang Asep mata Rania malah menatap lurus ke kamar Arjuna, lampu kamar itu masih menyala, tanda bahwa si penguasa kamar masih terjaga. 

Ada rasa bahagia ada rasa kesal, bercampur jadi satu. Bahagia karena Arjuna dan Bi Didah ternyata sudah ada di rumah dengan selamat, kesal karena Arjuna dan Bi Didah pulang tanpa memberi tahu Rania terlebih dahulu sehingga membuat Rania cemas dan kebingungan.

"Bi Didah kenapa tadi pulang gak bilang aku dulu?"
Rania langsung menyerbu Bi Didah yang sedang merapihkan dapur.
"Tadi Den Arjuna minta cepat-cepat pulang setelah melihat Neng Rania pergi sama anak dan laki-laki itu."
Hhmm...jadi Arjuna melihatnya? Tapi kenapa memutuskan untuk segera pulang tanpa mengabarinya?
"Terus Bibi sama Den Arjuna pulang pakai apa?"
"Den Arjuna pesan taksi online."

==============================
"Bi, Den Arjuna belum keluar kamar? Sudah waktunya sarapan dan minum obat. Sarapan dari cathering udah dateng?"
"Den Arjuna sudah berangkat, sarapan cathering baru dateng setelah Den Arjuna berangkat."
"Berangkat kemana? Itu kursi rodanya masih ada."
"Ke kantor Neng, katanya ada rapat penting hari ini, Den Arjuna gak pakai kursi roda tapi pakai tongkat empat kaki."

Nekat juga, kesehatannya belum pulih betul tapi sudah ngnator.
"Jadi Den Arjuna belum sarapan dan makan obat?"
"Belum Neng."
Rania mengemas sarapan dan beberapa obat dan vitamin yang harus di minum Arjuna. Rania berniat mengantarkannya ke kantor Arjuna.
"Bibi tahu alamat kantor Den Arjuna?"
"Bibi tahu kantornya, pernah kesana sama ibu, tapi bibi gak tau alamatnya itu dimana"

"Oke aku tanya mang Asep aja."
Syukurlah Mang Asep tahu nama kantor dan alamatnya.
"Mang, aku boleh pinjem motor Mang Asep?"
"Neng Rania mau ke kantor Den Arjuna pakai motor?"
"Iya Mang."
"Kenapa gak persen taksi online aja? Neng Rania gak punya uang buat ongkos, ini mang Asep ada sedikit."
"Gak usah Mang, aku naik motor aja biar lebih cepet."
Rania pun melesat dengan kecepatan 80 km/jam.
==============================
"Saya mau ketemu Pak Arjuna, bisa?"
Tanya Rania pada resepsionis kantor Arjuna.
"Sudah buat janji?"
"Belum."
"Maaf Mbak, Pak Arjuna hari ini sibuk, jadi kalau mau bertemu silahkan bikin janji dulu."
"Oohh begitu ya, bilang aja sama Pak Arjuna ada Rania mau mengantarkan obat."

Resepsionis cantik itu menghubungi Arjuna via telepon.
"Maaf Mbak, Pak Arjuna sedang sibuk, tidak bisa diganggu."
"Baiklah kalau begitu saya tunggu di lobi aja sampai Pak Arjuna selesai."
Resepsionis itu kembali sibuk dengan teleponnya.
"Mbak, kata Pak Arjuna silahkan masuk aja, ruangan Pak Arjuna ada di lantai 3 sebelah kiri."
"Ok, makasih ya Mbak."
Rania mengetuk pintu perlahan.
"Assalamualaikum..."
"Masuk."
Rania membuka daun pintu perlahan lalu menyembulkan kepalanya.

"Assalamualaikum.."
Ulang Rania lagi, sengaja karena tadi Rania belum mendengar Arjuna membalas salamnya. Arjuna sibuk dengan setumpuk file di mejanya.
"Waalaikumsalaam."
Masih fokus pada filenya, tidak menoleh sedikitpun.
"Maaf menggangu Den, saya hanya ingin mengantarkan ini, sarapan dan obat Den Arjuna."
"Simpan saja disitu."
Arjuna masih tidak menoleh. Rania meletakkan sarapan dan obat untuk Arjuna di meja sofa.
Rania memperhatikan Arjuna yang tampak gagah dengan jas hitam dan dasi merah maroonnya. Arjuna tampak sangat berbeda, berwibawa dan terlihat smart.
"Kalau sudah selesei silahkan keluar dan jangan lupa tutup pintunya, saya sedang sibuk."
Benar-benar deh Arjuna ini cowok 3G, Ganteng-Ganteng Galak.
"Jangan lupa di makan sarapannya dan diminum obatnya Den."
Pesan Rania sebelum pamit. 

Langkah Rania terhenti di depan pintu, lalu badannya berbalik menghadap ke arah Arjuna, sesaat Rania dan Arjuna saling beradu pandang, lalu Rania menunduk, berjalan mendekat.
"Maaf Den mohon ijin, besok dan lusa saya ijin keluar mau ada keperluan, boleh?"
Tanya Rania ragu, hatinya tak berhenti berdoa semoga Arjuna mengabulkan permohonannya.
"Terserah...."
Jawab Arjuna dingin.
Rania bersorak dalam hati, Alhamdulillah.
"Terimakasih banyak Den, saya permisi, assalamualaikum."
"Alaikumsalaam."
Jawab Arjuna pelan nyaris berbisik.

Arjuna menatap Rania yang menghilang di balik pintu. Akhir-akhir ini Arjuna berusaha untuk meminimalisir kontak mata dengan Rania, binar mata perempuan itu sering membuat detak jantungnya beberapa kali lebih cepat, entah apa alasannya.
Bahkan detak jantung itu tak juga menurun frekuensi meski tadi malam Arjuna sudah menyaksikan sendiri kebahagiaan Rania bersama anak perempuan dan laki-laki itu.
"Gilaaa...pantesan Michelle lo cuekin ternyata udah dapet gedetan baru, berlian pula." 

Tiba-tiba Satria, sahabat Arjuna yang bekerja di kantor Arjuna menerobos masuk ruangan kerja Arjuna, membuyarkan lamunan Arjuna.
"Kebiasaan, kalau masuk gak pernah permisi dulu."
"Sorry...sorry..., ckckck...temen gue ini memang expert kalau urusan cewek, lo kenal dimana sama dokter Nia?"
"Yang tadi itu pembantu gue, anaknya Bu Rima, lo tau kan Bu Rima? Tadi dia kesini nganterin sarapan dan obat buat gue, tuh."
Arjuna menunjuk meja sofa dengan bibirnya.
"Hahaha..kalau becanda jangan kelewatan lo."
Tawa Satria pecah.
"Gue serius, dia itu pembantu gue, gantiin tugas Bi Didah selama Bi Didah ibadah haji."
 
"Arjuna, mata gue masih normal, gue gak mungkin salah lihat, tadi gue lihat dokter Nia keluar dari sini, dari ruangan lo, pake gamis warna pastel sama kerudung peach, iya kan?"
Itu memang pakaian yang tadi dikenakan Rania.

"Lo masih inget waktu gue di gigit ular pas lagi kemping di Pondok Halimun Sukabumi? Waktu itu gue dibawa ke puskesmas terdekat tapi disana gak ada serum anti bisa ularnya, lagi abis, karena bisa ularnya udah menyebar ke aliran darah gue jadi gue di rujuk ke Rumah Sakit dalam keadaan sudah demam tinggi dan hampir syok dan waktu itu dokter Nia yang lagi jaga dan langsung nanganin gue."
"Gue inget banget sama dia bukan karena dia cantik dan bikin gue klepek-klepek ya tapi dia udah nyelametin hidup gue jadi gak mungkin gue lupa seumur hidup gue."

"Tapi yang tadi itu Rania, pembantu gue, bukan dokter Nia yang lo maksud."
Satria membuka gawainya, membuka google dengan key word "dr. Rania Aisyah Damanhuri", klik gambar.
"Lihat nih, dia kan?"
Arjuna menatap layar gawai yang disodorkan Satria, ya itu Rania.
"Mirip doang."
Arjuna masih berkilah.
"Lo googling sendiri deh, gue denger dia sempet ditawarin jadi brand ambasador sebuah produk kosmetik halal setelah dia dinobatkan jadi dokter teladan tahun ini versi Kemenkes."
Arjuna berusaha menata hati agar ekspresi wajahnya tidak berubah meski apa yang barusan dikatakan Satria sungguh telah membuat badannya terasa lemas.
"Lo pasti salah orang Sat."
Arjuna masih berkilah.

"Gak mungkin, duuhh nyesel banget tadi gue gak nyapa, padahal kan gue bisa basa-basi pesen almond cookies dia, lagian lo punya sosmed dong biar update berita kekinian di alam semesta, dunia itu gak selebar kantor dan Michelle."
Almond cookies??

"Almond cookies doang lo tinggal nyuruh Mang Diman buat beli di toko kue sebrang."
"Gue penasaran aja sama almond cookies dia kok bisa laris manis dan happening gitu, pantes aja marketernya ada dimana-mana."
Rania...kejutan apa lagi ini? Tadi malam aku masih syok dengan kejadian di mall dan sekarang ocehan Satria menambah kepalaku makin pusing, Arjuna menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Dia itu Rania, pembantu gue, pasti orang yang beda dengan yang lo maksud."
"Kalau dia lagi jadi pembantu lo berarti dia tinggal di rumah lo kan?"
Mata Satria mengerling.
"Nanti gue ikut pulang ke rumah lo ya, biar gue pastiin kalau yang tadi itu beneran dokter Nia, boleh dong sekalian pedekate."
Senyum Satria melebar.
"Keluar sana, ini masih jam kerja."
"Wuiihh kirain abis kecelakaan lo bakalan berubah baik, ternyata masih sama aja, gak asyik."
Satria ngeloyor menjauhi Arjuna.

"Sepertinya masa-masa jombloku akan segera berakhir, dokter Nia....tunggu abang ya, abang akan segera datang meminang."
Satria membentangkan tangannya.
"Dia sudah menikah dan punya anak."
Arjuna pura-pura sibuk dengan file di mejanya.
Mata Satria terbelalak, lalu tertawa kencang, tangannya lincah membuka gawainya lagi, tawanya belum mereda.
"Sejak kapan usia kehamilan itu selama 30 hari?"
Satria menyodorkan gawainya pada Arjuna.
"Jangan pada kangen ya, mau belajar tentang rumah tangga dulu selama 40 hari, persiapan kali aja mendadak ada yang melamar, sampai jumpa 41 hari kemudian."
Caption dari unggahan Instagram terakhir Rania dengan fotonya yang sedang ada di dapur dan memakai apron, diunggah tepat satu bulan yang lalu.

bersambung ...