Persaudaraan Muslimah Indonesia, mempelajari Islam Secara Menyeluruh.

Minggu, 29 Maret 2020

His Secret Admirer 1 - 4 (tamat)


#His_Secret_Admirer
#Penggemar_Rahasia
#Part1
#Cataleya

"Pulang dulu ya...."
"Ati-ati ya, Yang...."
Sayup-sayup kudengar suara Mas Ares berpamitan, tak lama barulah kudengar suara mesin motor matic dihidupkan dan lama kelamaan suara itu semakin menjauh. Pertanda yang mengendarai sudah tak lagi di depan rumah kami.
"Masih belajar aja, Leya?" tanya Mbak Calista atau yang lebih sering disapa dengan Lista saja. Dia adalah kakak perempuan satu-satunya yang kumiliki.
"Iya, Mbak. Nanggung dikit lagi," jawabku.
"Kamu ini, mbok ya ... weekend tu main sama teman kek, gaul gitu lho, malah belajar melulu. Kapan punya pacarnya kalau gitu?"
"Ya emangnya salah, kalau Leya lebih memilih belajar ketimbang duduk-duduk nongkrong nggak jelas?"
"Duh, nggak tahu ah, susah kalau ngomong sama kamu!"

Mbak Listapun akhirnya masuk ke ruang tengah. Sedangkan aku masih di ruang tamu, berandai-andai apa jadinya ya kalau yang diapeli seminggu sekali sama Mas Ares tanpa absen sekalipun itu aku. Wah bahagianya. Hush ngelantur kamu, Leya!
Entah sejak kapan aku memang menyimpan kekaguman pada pacar kakakku itu. Dan aku sadar nggak seharusnya aku memiliki perasaan seperti ini. Kalau Mbak Lista tahu, bisa digoroknya aku.
Tapi sebenarnya, nggak ada yang perlu dikhawatirkan, ini kan hanya perasaanku sendiri, sedangkan Mas Ares, tentu saja dia sangat mencintai Mbak Lista yang lebih segalanya dari aku itu.

Secara fisik perbedaan kami sangat kentara sekali. Mbak Lista memiliki kulit yang putih bersih, idaman para perempuan Indonesia. Aku nggak mau bilang idaman seluruh wanita di muka bumi. Karena nyatanya, para perempuan bule malah berlomba-lomba menggelapkan warna kulit mereka.
Rambut Mbak Lista lurus panjang, sedangkan aku bergelombang dan hanya sebahu.
Mbak Lista berwajah cantik dengan kedua lesung pipit menghiasi pipinya yang semakin membuatnya manis terutama saat dia sedang tertawa.

Secara tinggi badan, dia hanya beberapa sentimeter di atasku.
Dengan kualitas fisik seperti itu, seringkali memaksa orang-orang yang berpapasan dengannya sampai harus menengok dua kali hanya untuk mengagumi parasnya.
Tak terkecuali Mas Ares, mereka memang sejoli idola di sekolah kami. Iya kami bertiga memang bersekolah di tempat yang sama. Mas Ares dan Mbak Lista di jenjang yang sama, ini tahun terakhir mereka di SMU ini, yang kudengar mereka bahkan berencana melanjutkan ke perguruan tinggi yang sama nantinya.

Bagaimana bisa aku tak mengaguminya, ketika hampir semua populasi rakyat perempuan di sekolah ini begitu mengelu-elukannya.
Seperti nggak ada makhluk lelaki lain yang bisa dibahas selain Mas Ares.
Padahal yang dibicarakan juga sudah tak berstatus single. Setiap ada kabar mengenai kebaikan, kelebihan, kehebatannya selalu mampir di telingaku tanpa diundang. Itu pun masih ditambah dengan pemandangan ketika dia bertamu ke rumah seminggu sekali.
Atau saat rutin mengantar jemput kakakku. Betul-betul tipe lelaki setia, pikirku.
Tapi bukan itu semua yang membuatku punya perasaan khusus padanya, yang kusimpan rapat-rapat dan tak ada seorangpun yang tahu.

Flashback on
"Leya, bareng Mas aja pulangnya." Aku kaget tiba-tiba dia menyejajari langkahku.

Hari ini memang Mbak Lista gak masuk sekolah karena demam.
"Umh ... nggak usah, Mas, ngrepotin," jawabku.
"Nggaklah, repot apanya. Aku memang sekalian mau ke rumahmu nengok Mbakmu." Ah, kamu ke-GeEr-an Leya, dia menawarimu tumpangan lantaran karena mau nengokin pujaan hatinya yang lagi sakit bukan karena ada perhatian lain sama kamu.
Akhirnya akupun menerima tawaran Mas Ares. Seharusnya Arez bukan Ares, karena nama lengkapnya Areza Satrio Wibowo, kok aku bisa tahu? Iyalah, kakakku sering mencoretkan nama itu dimana-mana. Biasanya disandingkan dengan namanya sendiri lalu dihias dengan gambar bunga segala rupa, jengah sendiri kalau ingat.
Sepanjang perjalanan Mas Ares mengajak ngobrol mengenai banyak hal, hanya obrolan basa-basi tapi entah kenapa aku suka dan nyaman.
Baru setengah jalan, hujan tiba-tiba mengguyur bumi Jepara, Mas Arespun menepikan motornya.
"Duh, maaf Leya aku nggak bawa jas hujan lagi," tuturnya ketika kita berteduh di depan sebuah toko kelontong yang tutup.
"Nggak apalah, Mas. Bukan salah Mas Ares juga kalau tiba-tiba turun hujan," jawabku santai menikmati suasana hujan, tanpa kusadari tanganku terangkat, kubiarkan tetesan air hujan dari atap toko menetes di atas telapak tanganku, entah kenapa ini terasa menyenangkan.
"Kamu suka hujan?" tanya Mas Ares menyadarkanku dari lamunan, bahkan dia sedang tersenyum memperhatikanku, yang ternyata juga sedang, tersenyum?
Refleks aku menormalkan garis bibir dan segera memalingkan mukaku dari tatapannya, untungnya hujan pun mulai mereda, dan Mas Ares mengajak melanjutkan perjalanan, sehingga kegugupan yang datang mendadak ini tersamarkan.
Flashback off

Kurasa sejak itulah diam-diam aku menjadi penggemar rahasia pacar kakakku sendiri. Harusnya tak boleh begini, tapi selama Mbak Lista nggak tahu ... iya selama dia nggak tahu, tidak mengapa!
Nyatanya aku salah, Mbak Lista memang nggak pernah tahu, tapi aku yang tersiksa sendiri.

Kupikir setelah mereka melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dan sementara waktu jauh dari kota ini, aku bisa lebih tenang.

Tapi setiap kali mereka pulang, melihat mereka semakin mesra, malah Mas Ares sudah berani mencium Mbak Lista di depanku.
Okey ralat, bukan di depanku sebetulnya, karena hanya aku yang mengintip melalui jendela kamar saat Mas Ares pamit pulang dan melakukan adegan romantis bak di film barat itu, tanpa sepengetahuan mereka.

Tak sopan memang, apa daya rasa ingin tahuku tak terbendung dan sekarang aku kena getahnya, merasakan cemburu pada apa yang bukan hakku.
Akhirnya, kubulatkan tekad, beasiswa itu harus kudapatkan.
Selama masih dekat dengan mereka penyakit hati ini nggak akan sembuh.
Mati-matian akupun belajar tanpa lelah dan mulai mendaftarkan diri ke pelatihan-pelatihan kepemimpinan, aktif dalam organisasi, dan tentu saja menyiapkan bekal bahasa inggris untuk mencapai target nilai yang diharuskan saat harus tes IELTS dan TOEFL nanti.
Hikmahnya kesibukan ini baik untukku karena setidaknya aku jadi tidak punya banyak waktu untuk memikirkan Mas Ares. 

Hingga pada akhirnya kabar baik itu datang, tak tanggung-tanggung University of Toronto, Kanada yang memberiku kesempatan untuk melanjutkan pendidikan strata 1-ku di sana.
Sayangnya restu dari keluarga tak lantas kukantongi begitu saja.
"Nanti kalau kamu sakit gimana Leya? Kalau Ibu kangen gimana?" keluh Ibu kala kuungkapkan niatku untuk melanjutkan pendidikanku di negeri orang.
"Kan bisa videocall, Bu...." rayuku menjawab pertanyaan Ibu. Ini semua demi menjauhi Mbak Lista dan pacarnya.
Duh Leya, ini semua memang salahmu, coba kalau kamu tidak sembarangan menitipkan hati!
Hati ini memang milikku, tapi bukan berarti aku bisa mematikan seenaknya apa yang dirasanya, mauku juga nggak begini.
"Apa nggak bisa kamu kuliah di tempat Mbakmu saja, Nduk? UGM juga sudah bagus dan lulusan dari sana juga sangat diakui kok," tambah Bapak kali ini.
Aku diam saja kali ini, tekadku sudah bulat, lagipula kesempatan seperti ini sangat langka.

Ini demi masa depanku juga, selain alasan yang sebelumnya kusebutkan tadi.
"Iya! Ini Kanada lho Leya, bukan sekedar beda kota atau beda pulau. Ini beda negara, bahkan beda benua. Yang benar saja kamu!" Kalau saja Mbak Lista tahu salah satu penyebab aku kabur sejauh ini adalah demi dia juga, Mas Ares mungkin nggak akan melirik aku, tapi aku tidak ingin mengambil risiko rusaknya hubungan saudara di antara kami hanya karena lelaki.
Setelah perdebatan alot akhirnya ijin kudapatkan dari kedua orang tuaku, aku tahu ini nggak akan mudah, tapi aku pasti bisa.
Kanada, here I come!



----


#His_Secret_Admirer
#Penggemar_Rahasia
#Part2
#Lamaran

Enam tahun kemudian ....
Rasanya aku tak akan pernah terbiasa menghadapi kemacetan J-town ini. Meskipun sudah 2 tahun lebih aku tinggal dan meniti karir di sini, bahkan sejak setahun terakhir mengendarai mobilku sendiri, masih saja macet di kota ini seolah merampas masa mudaku.
Kulirik sekilas ponselku yang layarnya berkedip-kedip 'Mbak Calista' sempat kubaca sebelum akhirnya kutekan tombol bluetooth di telingaku.
"Hallo, Mbak ...."
"Leya, lagi dimana?"
"On the way balik, kenapa, Mbak? Ibu sama Bapak nggak pa-pa kan?"
"Masih peduli kamu sama kami?"
"Kok, Mbak ngomongnya gitu?!" Aku kesal dengan tanya sarkasnya.
"Ya habisnya, kamu tu ya ... lulus dari Kanada bukannya pulang, sekarang malah kerja di Jakarta!"
"Mbak-"
"Rasanya kaya nggak ada bedanya sama kamu tinggal di luar negeri, nggak pernah pulang, pulang lebaran itu juga cuma sehari doang, kaya cuma syarat aja!"
"Mbak, kalau Mbak nelepon cuma buat ngomel, mending ditutup aja!"
"Ck, kamu ini! Seringlah pulang Leya, mumpung orang tua kita masih ada ... aku tahu karir kamu di sana bagus, tapi jangan sampai nyesal!"
"Iya, Mbak." Singkat saja kujawab tak mau ribut dengannya, tapi perkataan Mbak Lista memang ada benarnya.

Aku serius waktu menjawab 'iya' barusan, akan kucoba lebih meluangkan waktu untuk sering menengok keluarga.
"Ah sudahlah! Mbak tu nelepon bukan mau ngomongin ini ... Leya, kamu bisa ambil cuti 1-2 hari gitu nggak?"
"Untuk?"
"Mbak mau kamu di sini dan keluarga kita berkumpul lengkap saat peristiwa penting nanti terjadi."
"Peristiwa penting apa?"
"Lamaran, Leya! Aku bentar lagi nikah!" teriaknya di seberang sana menggambarkan kebahagiaan.
Dan aku mengira sudah melupakan idola rahasiaku itu.
Memang sedari aku masih kuliah di Kanada, aku sudah nggak terlalu banyak ingat soal dia.
Aku bahkan menghapus aplikasi media sosial di ponsel agar tak perlu lagi melihat postingan kemesraan mereka, cara itu kunilai cukup berhasil.
Sampai saat ini, ketika kabar lamaran dari Mbak Lista menghampiri.
Nyatanya, rasanya tetap menyedihkan.
"Kapan, Mbak?" tanyaku berusaha tenang, menutupi rasa nyeri di dadaku.
"Minggu depan, Mbak sengaja telepon jauh-jauh hari biar kamu bisa mengurus cutimu!"
"Umh ... aku lagi banyak deadline, Mbak ...."
"Leya! Keterlaluan kamu-"
"Iya-iya, InsyaAllah aku datang," akhirnya kusela sebelum aku kena omelan panjangnya.
Sudahlah Leya, ini waktunya kamu move on! Masa setelah segini lamanya aku masih menghindari mereka? Apalagi kalau dia benar-benar akan menjadi kakak iparku. Aku harus latihan membiasakan diri mulai dari sekarang.
Jepara, seminggu kemudian ....
Aku sengaja datang tepat di hari H pelaksanaan lamaran akan berlangsung. Supaya tak ada ruang untuk bergalau ria.

Mbak Lista hari ini tampil sangat cantik, mengenakan kebaya modern, tapi rambutnya tetap dibiarkan terurai, aku mencoba ikut bahagia untuknya. Tulus.
"Keterlaluan kamu, Leya! Malah datangnya mepet gini!" Dia pura-pura merajuk padaku.
"Yang penting aku datang kan," kujawab dia sambil nyengir saja.

Kami banyak bercerita dan melepas rindu. Mbak Lista juga membahas konsep pernikahan yang diinginkan, dan aku sebisa mungkin ikut tersenyum di setiap kata yang dia tuturkan.
"Nikahanku nanti jangan kaya hari ini ya kamu! Datang di hari H ... kupecat jadi adik kamu!"
Di tengah-tengah obrolan kami, rombongan calon mempelai pria tiba. Aku yang sedari tadi tenang, mulai gundah. Kupandang wajah sumringah Mbak Lista, aura kebahagiaan begitu jelas terpancar di wajahnya.
Kurasa itu cukup, itu alasan yang kuat untuk tidak merusak acara ini dengan drama yang nggak penting.
"Assalamu'alaikum ...."
Kami yang di dalam rumahpun kompak menjawab, "Wa'alaikumsalam ...."
"Monggo monggo, pinarak ...," kata Ibu mempersilakan para tamu untuk segera masuk.
Deg!
Bukan dia? Calonnya Mbak Lista bukan dia? Lhoh? Tapi? Kok?
Aku menoleh pada Mbak Lista dan Mbak Lista yang merasa kuperhatikan pun ikut menoleh padaku.
Aku memberi kode pertanyaan dengan mataku, kok calonnya dia? Siapa dia? Kok aku nggak kenal?
Tapi tentu saja Mbak Lista nggak paham maksud kodeku dan hanya tersenyum lebar kemudian kembali memandang ke arah calon beserta keluarganya.
Prosesi lamaran berjalan lancar dan kedua pihak keluarga memutuskan pernikahan akan digelar sekitar empat bulan dari sekarang, dilanjutkan dengan acara makan siang bersama, aku sudah tak sabar ingin menanyakan apa yang sedari tadi berkecamuk di pikiranku.
Saat berpapasan dengan Mbak Lista, langsung saja kubrondong dia, "Mbak, kok bukan Mas Are- hmmph."
Belum sampai selesai aku bicara, Mbak Lista membekap dan mendorongku masuk ke dalam kamar.
"Sstt! Jangan sebut nama itu! Mas Doni bisa marah nanti," perintah Mbak Lista.
"Hah, aku bingung ...." Lirih kulanjutkan bicaraku, "kupikir kamu nikahnya sama ... kok ini beda?" Tanpa kusadari aku mengikuti perintahnya untuk nggak menyebut namanya.
"Makanya, terusin aja sana nggak pulang-pulang! Sampai nggak tahu kan Mbaknya mau nikahnya ama siapa?!"
Aku diam saja, menunggu cerita darinya.
"Huft ... Leya, Leya, dari pas kamu pulang terakhir kali, lebaran kemarin itu, Mbak juga sudah sama Mas Doni-lah, coba ya kalau kamu nggak buru-buru balik, lebaran hari kedua dia kan silaturahmi ke sini," terang Mbak Lista.
Yang cuma bisa kujawab dengan, "Hah?" yang lemah. Jadi selama ini aku nggak mau pulang buat apa?
"Bahkan, lebaran tahun pertama yang sebenarnya kamu sudah balik ke Indonesia, tapi nggak bisa pulang karena belum punya cutipun, itu juga sudah ada Mas Doni," lanjutnya lagi.
Dan sama seperti tadi aku cuma bisa, "Hah?" Saja.
"Hah heh hoh, hah heh hoh molo kamu ih!"
"Tapi Mbak, kok bisa? Umh ... maksudku kupikir kalian nggak bakal putus dan sampai beberapa jam yang lalu aku pikir yang datang melamarmu itu dia lho?" Aku masih penasaran dengan kisah mereka yang terlewat olehku.
"Hehe ... dia sibuk banget, terus udah beda nggak seperhatian dulu. Ya mungkin karena skripsinya juga si ...," okey aku mencoba menyerap semua ini perlahan-lahan, jadi mereka putus sejak kuliah, "terus aku ketemu Mas Doni dan makin akrab-"
"Mbak selingkuh?!"
"Ssssttttt! Leya! Jangan keras-keras! Ish ... intinya gitulah."
"But ... but why?"
"Apanya? Kan udah dikasih tahu karena dia sibuk, quality time kami semakin berkurang, saat itulah aku dapat perhatian dari Mas Doni."

Bukannya senang mendengar kandasnya hubungan mereka, entah kenapa aku malah kesal dan marah pada kakakku ini.
Kasihan sekali Mas Ares, pasti dia hancur, aku tahu dia sangat menyayangi Mbak Lista.
"Dia dimana sekarang, Mbak?"
Mbak Lista mengedikkan bahu, tapi lalu menjawab, "Kudengar si di Jakarta, keluarganya kan memang pindah ke sana semua, tapi nggak tahu lagi sih...."
"Memangnya udah nggak pernah kontakan?" Mbak Lista menggeleng menjawabku.
"Nggak pernah ketemu dia, kamu di Jakarta?" tanyanya.
"Ish, Mbak, Jakarta itu nggak selebar daun kelor kali! Lagian kalau aku pernah ketemu, aku nggak nanyalah tadi."
"Iya-"
Pintu kamar terbuka, rupanya Ibu, "Heh! Ini malah ngerumpi sendiri di sini, tamunya ditinggalin, nggak sopan kalian ini, ayo keluar, keluar!"
Kakakku terkikik sambil berjalan keluar kamar, aku pun mengekor di belakangnya, tapi pikiranku mengembara memikirkan sosok itu.

Author:
Jangan berharap konflik aneh-aneh di cerita yang ini. Hanya short story pengobat rindu pada kalian semua, tapi jgn lupa tetap dikomen ya.

-----


#His_Secret_Admirer
#Penggemar_Rahasia
#Part3
#Areza


Lumayan juga cuti beberapa hari ke kampung halaman, sedikit menghilangkan penat badan.
Tapi pagi ini, sengaja aku ambil first flight karena siangnya aku harus siap berjibaku dengan naskah-naskah yang mendekati deadline di kantor.
Dari Bandara Soeta kusempatkan mampir ke apartemen dulu, sekedar mandi dan berganti pakaian serta meletakkan beberapa barang yang kubawa dari Jepara. Karena berangkat dini hari dari Jepara ke Semarang, aku tak sanggup mandi dulu tadi.
Saat aku masih sibuk mencari kunci kamarku, pintu lift yang membawaku naik ke lantai-17 pun terbuka. Kakikupun dengan sendirinya melangkah keluar, dengan kepala yang masih tertunduk, dan tangan yang mengaduk-aduk isi tas, sebenarnya dimana aku meletakkan kunciku? Biasanya di sini ....
"Leya?" Refleks kepalaku terangkat ke arah si pemilik suara.
"Mas ... A-res ...?" Loh, kok ada dia di sini sih? Apa ini halusinasiku saja karena beberapa hari terakhir terlalu sering memikirkannya.
"Kok kamu di sini?"
"Kok Mas bisa ada di sini?"
Tanya kami bersamaan, pintu liftpun kembali menutup.
"Eh pintunya-" Refleks kutahan pintu lift di belakangku, "Mas mau turun kan?"
Tapi dia malah menarikku pelan, sehingga tahananku pada pintupun terlepas.
"Kok kamu di sini?" ulangnya.
"Aku tinggal di sini ... Mas sendiri?" Kuperhatikan dia masih memegang tanganku, tidak terlalu kencang, yang kencang adalah debaran jantungku. Oh Tuhan ... semoga nggak sampai terdengar di telinganya.
"Aku juga, kamar nomer berapa?"
"Itu ... kamar paling ujung 1720," jawabku seraya menunjuk arah dimana kamarku berada, masih nggak percaya bisa ketemu orang ini di sini, wait apa katanya tadi? Dia tinggal di sini juga? What the ....
"Lho, berarti kita tetangga dong? Aku di kamar depanmu pas lho 1721, kamu sejak kapan stay di situ?"
"Hah? Mas di-di depan ... jadi ...?"
"Iya ...." jawabnya sambil tertawa dan akhirnya melepaskan pegangannya di tanganku, sedangkan aku bahkan tak bisa berkata-kata, "nggak nyangka ya bisa ketemu di sini," sambungnya seraya menggosok keningnya, gatalkah?
"Ha ... iya, Mas," sahutku lirih, masih tak percaya.
"So? Udah lama stay di sini ...?" Dipandanginya barang bawaanku, "Dari mana? business trip?"
Huft, kusandarkan badanku ke tembok di belakangku lantas kutatap dia sebentar sebelum akhirnya aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya, "Aku udah setahunan tinggal di sini dan barang-barang ini ...."
Kuhentikan sejenak sembari menatap koper kecil dan kardus bekas mi instan yang entah apa isinya, karena Ibu memaksaku untuk membawanya, oleh-oleh buat teman-teman di kantor kata beliau, "aku baru balik dari Jepara, Mas."
"Oh ya? Wah kangen juga sama Jepara, semenjak kami semua pindah ke sini, udah nggak pernah ke Jepara lagi aku. Oh iya, gimana kabar Bapak, Ibu, Lista?"
Deg ... harusnya aku tak perlu kaget, dia pasti akan bertanya mengenai kakakku.
"Ya ini dari Jepara, karena abis acaranya Mbak Lista, umh, mereka semua baik."
"Acara Lista? Acara apa?"

Aku bingung, apakah pertanyaannya ini harus kujawab atau tidak.
"Hmm?" Sepertinya dia pun mulai tak sabar, menunggu jawabanku.
Huft, lagi-lagi kuhembuskan napasku berat, "Lamaran." Lirih ku menjawab.
"Apa?" Entah benar-benar kurang jelas, atau hanya ingin lebih meyakinkan diri tentang jawabanku barusan.
"Lamaran, Mas. Aku habis pulang dari Jepara untuk acara lamarannya Mbak Calista!" Akhirnya tegas kujawab pertanyaannya.
"Lamaran? Nikah maksudnya?" Kucari gurat kesedihan di wajahnya, tapi tak dapat kutemukan, apa karena dia sudah move on dan punya pacar baru atau dia memang terlalu pandai menyimpannya.
"Hu um," jawabku lagi.
"Wow ... sama? Doni?" Jadi dia bahkan masih ingat nama selingkuhan Mbak Lista.
Kali ini aku hanya mengangguk. Dan anehnya itu menular padanya, dia pun ikut menganggukkan kepalanya pelan.
"Eh, ya udah, entar sambung lagi ya, belum selesai ngobrolnya."
Tiba-tiba dia hendak berlalu dari tempat kami berdiri sekarang meninggalkanku yang masih setengah tak percaya dengan pertemuan kami ini.
"Nope kamu ...." Kali ini dia menyodorkan ponselnya padaku, bergantian kulihat ponsel dan mukanya masih mencerna, apa tadi dia bilang ...?
Oh nope!

Kusambar saja ponsel itu dan cepat kuketikan deretan angka yang kuhapal di luar kepala ini. Setelah itu barulah kukembalikan ponsel itu ke pemiliknya.
"Okey, aku jalan dulu ...," aku masih saja mematung, "eh, its really nice to see you again, Leya!" Kali ini dia tersenyum lebar.
"Yeah sure, Mas. Me too!" Akhirnya bibir ini refleks menyuarakan isi hati.
Hampir 5 menit berlalu sejak pintu lift tertutup dan aku belum juga beranjak, masih menikmati moment barusan.
Astaga, jadi selama ini kami tetangga-an?
"Aaaakkkk...." Tiba-tiba aku teriak gemas sendiri, kakiku tidak bisa diam lompat-lompat, lari di tempat, bergerak ke sana kemari.
###
Setelah pertemuan beberapa hari yang lalu, aku bertanya-tanya, apa kejadian kapan hari itu hanya mimpi belaka ya? Karena kamar depan itu seperti tak berpenghuni saja. Sering aku tiba-tiba iseng mengintip dari lubang pintu, tetap saja nihil.
Aku pun tak pernah berpapasan lagi dengannya. Ah bodohnya kenapa waktu itu aku nggak meminta nomor HPnya juga sih?!
Kadang aku ingin bercerita ke Mbak Lista soal pertemuanku dengan Mas Ares, lantas kupikir lagi, untuk apa, dia sedang menikmati kehidupannya sebagai calon mempelai pengantin, sudahlah aku tak ingin mengganggu dia dengan cerita masa lalunya. Tapi, apa iya hanya karena itu alasannya?
Bukan karena kamu ingin menyimpan Mas Ares untukmu sendiri, Leya?
Ah udah-udah, Ares, Ares, orangnya aja nggak tahu kemana?
Mungkin kapan hari itu penyakit haluku lagi kambuh.
Kujinjing plastik sampah, hendak membuangnya ke pembuangan sementara.
Dan di sanalah dia, saat aku baru saja membuka pintu kamarku, dia pun sedang melakukan yang sama dan ... sepertinya juga membawa, sampah?
"Hei, Leya," sapanya sembari menutup pintunya.
"Hei, Mas." Kucoba menyamarkan kegugupanku.
"Sampah? Sini biar sekalian-" Kuhalangi dia yang hendak mengambil sampah dari tangan kananku dengan tangan kiri.
"Nggak usah, udah biasa buang sendiri," kataku sambil menyunggingkan seulas senyuman.
"Sekalian ,Leya. Ini ...." Dia menunjukkan plastik sampah miliknya.
"Nggak pa-pa, Mas. Aku juga sekalian mau cari sarapan," tolakku lagi. Padahal karena masih ingin berlama-lama bareng dia.
"Oh gitu," balasnya dan akhirnya berjalan beriringan denganku.
"Mas Ares, udah lama tinggal di sini?" tanyaku ketika kami di lift.
Akhirnya dia mengikutiku ke bawah untuk mencari sarapan setelah sebelumnya membuang sampah tadi.
"Dua tahun lebih kayanya." Hari ini Mas Ares lebih pendiam, atau mungkin melihatku mengingatkan dia pada sang mantan yang juga adalah kakakku.
Aku berjalan terus keluar menuju warung tenda yang menjual soto ayam lamongan dan tak lagi berkeinginan memulai pembicaraan.
"Bu, biasa ya," kataku pada penjual soto langganan kalau pas hari libur gini.
"Nasi setengah, Neng? Kaya biasa juga?" Aku tersenyum mengangguk pada si Ibu.
"Kok setengah?" tanya Mas Ares di belakangku, rupanya dia mengikutiku sampai ke sini.
"Iya kalau pagi nggak bisa makan banyak," jawabku seraya mencari tempat untuk duduk dan kulihat dia juga akhirnya memesan sarapan untuk dirinya sendiri.
Akupun menyibukkan diri dengan ponselku ketika dari sudut mataku terlihat dia mengambil posisi duduk di depanku.
Dia pun melakukan hal yang sama dengan ponselnya. Sampai akhirnya soto terhidang di hadapan kami, kulihat sotoku dan, "Ish si Ibu ni, lupa mulu-"
Dan betapa terkejutnya aku ketika tiba-tiba Mas Ares mengambil bagian kuning telur dari mangkukku, serius, bengong aku dibuatnya.
Sampai beberapa detik kemudian dia berkata, "Makan, jangan bengong aja, kalau dingin nggak enak!"
Akupun segera menyuapkan makanan ke mulutku. Tak bisa menahan rasa penasaran akhirnya, "Kok Mas Ares tahu kalau aku nggak doyan kuning telur?"
Diapun menatapku sejenak lantas melanjutkan aksi memakannya, ish gemas aku.
Sepertinya dia tak berniat memberitahu, ah sudahlah aku pun melanjutkan sarapanku.
"Dulu kita kan pernah makan bareng juga, sama Mbakmu, soto juga kalau nggak salah ... masih ingat?"
Sejenak kucoba mengingat momen yang barusan dia sebutkan.
"Ah, waktu itu aku kasih kuning telurku ke Mbak Lista ... Mas Ares ngeh to?"
"Ya ngeh lah Leya, lha wong duduknya semeja."
Kamipun tertawa bersama, dan setelahnya hening kembali menyapa.
"Mas Ares lagi BT ya?" Spontan kulempar saja pertanyaan itu daripada mengganjal.
"Kelihatan ya?"
Kami berdua bercakap-cakap tanpa saling memandang satu sama lain, masih sibuk dengan soto kami masing-masing.
"Hu um, lebih pendiam," jawabku.
"Hmm ... kerjaan sih."
"Oh...." Benarkah karena kerjaan? Aku ragu, tapi tak ingin memperpanjang.
"Ada proyek di Bandung, yang tiba-tiba dihentikan begitu saja sama ownernya ...." Dan tiba-tiba dia membuka lagi percakapan yang sempat terhenti.
"Lho kenapa?"
"Itulah ... makanya beberapa hari kemarin aku di Bandung ngurusin ini, selain karena nyalahin kontrak, aku cuma kasihan sama tukang-tukang di sana."
Yang ku tahu, Mas Ares ini dulu kuliahnya Arsitektur, dia membicarakan proyek, hmm ... bangunankah?
"Yah ... semoga saja ada solusi yang terbaik, tim kuasa hukum kantor sudah ambil alih kasusnya."
"Sampai ke ranah hukum, Mas?"
"Ya kalau terbukti wanprestasi ...."
Aku mengangguk pelan.
"Tapi semoga jalan lagilah, masuk ke meja hijau itu melelahkan dan makan waktu, selain itu ya seperti tadi ku bilang, kasihan mereka para pegawai lapangan."
"Iya, kubantu do'a yang terbaik, Mas," kataku mencoba menyemangati dia.
"Kamu sendiri? Kerja apa sekarang?"
"Aku... umh ... editor, Mas," jawabku bangga.
"Editor apa ni? Koran, majalah, media online?"
"Buku sih, kebanyakan novel, umh, fiksi, tapi ada juga sih nonfiksi, biografi misalnya."
"Wow, keren sih ... tapi, berarti selesai dari Kanada kamu langsung kerja di Jakarta?"
Kali ini aku hanya menganggukkan kepala.
"Editor apa? Maksudku junior or senior? Biasanya ada istilah-istilah seperti itu kan?"
"Kebetulan aku menjabat sebagai kepala editor di kantor, Mas. Novel area, karena kalau kaya buku pelajaran, komik, gitu udah beda lagi editornya."
"I see ...."
Obrolan kami terus berlanjut bahkan sampai makanan kami sama-sama tandas.
"Duh, sorry Mas aku kebanyakan ngomong, bosan ya pasti dengar ceritaku?" tanyaku sembari tersenyum, sebelum menyeruput teh hangat pesananku.
"Nggaklah, its a new world for me, tapi aku malah senang dengarnya, BT-ku juga jadi hilang."
Kamipun bertukar cerita mengenai pekerjaan kami masing-masing, saling tertawa, suasana kaku yang tadi ada saat berangkat ke warung soto sudah mencair seiring langkah kami kembali ke apartemen.
"Kok bisa ya, nggak pernah ngelihat Mas, padahal kita depan-depanan lho tinggalnya?"
"Aku sering nginap di rumah orang tua juga sih, kadang sesekali di rumah kakak juga kalau lagi ada proyek yang kebetulan dekat sama rumah dia."
"Oh iya, semua keluarga Mas Ares di Jakarta ya?"
"Hu um, Kakakku kan nikah sama orang sini, udah aja diboyong semua," jawabnya diselingi tawa kecil.
Tak terasa dua pekan sudah, sejak acara sarapan bersama, dan sedari itu kami jadi semakin sering bertemu untuk makan bersama atau sekedar sharing dan mendengarkan unek-unek terutama soal pekerjaan yang padahal dunianya jelas berbeda.
Tapi entah kenapa rasa nyaman itu ada.
Banyak istilah baru di dunia arsitektur yang kini tak lagi asing di telingaku.
Dan dia pun bahkan hafal naskah apa saja yang sedang kukerjakan, mana-mana saja yang sudah mendekati deadline.
Entah apa nama hubungan ini, aku menganggapnya pertemanan biasa, tak ingin terlalu berharap, aku yakin dia baik padaku lantaran aku adalah adik mantannya, mantan terindah mungkin.
Walau tak munafik, dalam hati kecilku rasa itu masih tersimpan rapat untuknya, cukup hanya aku yang tahu.
[Suara ketukan pintu]

Author:
Pasti kalian nebak yang datang Ares, ngaku deh ....
Besok udah tamat ni story, jangan lupa dikomen ya, sama bantuin cek typo dan tanda baca siapa tahu ada yang salah

Love,
Emak


#His_Secret_Admirer
#Penggemar_Rahasia
#Part4
#Jadian

[Suara ketukan pintu]

Pasti Mas Ares, ngajak sarapan bareng seperti hari Minggu sebelum-sebelumnya. Kubuka cepat pintu dan sengaja tersenyum lebar, tapi yang kudapati bukan Mas Ares, melainkan sepasang anak lelaki dan perempuan, "Tante Leya, ikut berenang bareng kita yuk?" tanya si kakak yang rambutnya dikuncir dua ini. Tapi kok dia mengenaliku, mereka ini ...?
"Iya ... yuk Tante, pokoknya harus ikut! Soalnya kalau Tante Leya nggak mau ikut, Om Reza juga nggak mau nemenin!" Kali ini si adik yang merayu sembari terus menerus menarik-narik tanganku.

Tunggu, Om Reza?
Ahh, keponakan Mas Ares kah? Akupun tersenyum pada mereka berdua, "Om Rezanya mana?"
Kompak mereka menunjuk pintu kamar di belakang mereka yang masih tertutup rapat itu.
"Tante sih mau saja ikut, tapi Tante nggak bisa berenang, jadi Tante lihatin aja ya dari ping-"
"Ish nggak boleh Tante, pokoknya Tante Leya ikut berenang, pliss, pliss, Tante ...." Si kakak kali ini memohon sembari menautkan kedua telapak tangan di depan dadanya. Nah sekarang ditambah si adik ikutan juga, duh Mas Ares ini.

Aku berlutut di depan mereka menyejajarkan pandanganku dengan keduanya, "Kamu ... siapa namanya?"
"Quinna." Tersenyum manis sekali si kakak menjawab.
"Kalau kamu?"
"Elang, Tante!" Dengan semangat giliran si adik yang menjawab.
"Berenangnya sekarang?"
Mereka mengangguk bersamaan, huft, ini mana sih tersangkanya yang sengaja mengirim makhluk-makhluk imut ini ke depan pintu kamarku.
Ini sih bukan mengajak namanya, tapi memaksa, mana bisa sih aku menolak mereka.

"Okey, Tante ikut-"
"Yeaayyy ...." Belum selesai kuucap kalimatku, mereka sudah bersorak, melompat-lompat berdua sambil bergandengan tangan, menggemaskan.
"Tapi ...."
Mereka seketika berhenti dan memperhatikanku, "Kok ada tapinya, Tante?" tanya Quinna.
Wajah mereka terlihat harap-harap cemas, akupun tersenyum melanjutkan kalimat yang tadi sempat terpotong, "Tapi ... Tante selesaikan masakan Tante sebentar ya, lumayan bisa kita bawa ke kolam buat makan bareng, boleh?"
Lagi-lagi mereka mengangguk kencang dan tak luput bibirku pun tersenyum.

###

Di pinggir kolam renang kususun piring-piring untuk makan siang kami berempat. Mas Ares masih menemani para keponakannya di dalam kolam renang fasilitas apartemen di sini.
Kubagi spaghetti dengan saus bolognese di masing-masing piring, "Makan dulu yuk ...," ajakku pada mereka.
Mas Ares yang pertama keluar dari kolam, segera kualihkan pandanganku, malu sendiri melihat Mas Ares bertelanjang dada seperti itu.
"Wow ... kamu hobi masak? Dan ini kok bisa kebetulan bikin banyak?" tanyanya sembari menyelampirkan handuk di badannya.
"Nggak hobi juga sih, cuma bisa. Masaknya emang biasa segini, lebihnya disimpan di kotak kedap udara, kalau mau makan lagi spaghettinya tinggal disiram air panas, sausnya dipanasin sebentar, eh ternyata malah kebetulan yang dimasak hari ini bisa langsung habis, ada Quinna sama Elang," terangku sembari memarutkan keju di atas spaghetti bolognese kami.
"Nice trick!"

"Quinna, Elang, ayo makan dulu ...."
Mereka berlarian menuju padaku yang sudah siap dengan baju handuk di tanganku.
Setelah mereka sudah memakai baju handuknya merekapun lahap menyantap makan siangnya.

"Kamu telaten sama anak kecil," komentar Mas Ares tiba-tiba, aku hanya tersenyum.
"Sudah pantas punya anak sendiri sepertinya ...."
"Uhuk ...." Aku tersedak, mendengar perkataan Mas Ares barusan, dan dia refleks menyodorkan minuman untukku.
"Apa sih, Mas?"
"Lho bener kan? Salahnya dimana?"
"Punya anak ... calonnya dulu Mas yang dicari."
"Ini di depannya sudah ada satu."
Pernyataan yang santai dari Mas Ares tapi seketika membuatku membeku dengan garpu yang masih terangkat di udara.

"Ayo Tante, kita berenang lagi ...!" Untung saja, aku terselamatkan dengan ajakan dua bocah ini.
Walaupun sebenarnya jantungku, Oh poor my heart, dia nggak tahu kalau kalimat candaannya barusan bisa saja membuatku pingsan di dalam kolam.

###

"Leya ...."
Kukucek mata, lalu melihat jam di nakas, 2:15 dini hari.
"Kenapa, Mas? Kok tumben nelepon jam segini?"
"Kamu punya obat penghilang nyeri nggak? Kepalaku sakit banget ...."
Seketika aku benar-benar terbangun, dan bergerak ke kotak penyimpanan obat dengan ponsel yang masih tertempel di telingaku.
"Demam nggak, Mas?"
"Hm ... sepertinya."
Kumatikan sambungan telepon dan bergegas keluar kamar menuju kamarnya. Kuketuk pintu kamarnya lama, tak juga dibukakan.
Dan baru akan kutelepon lagi dia, "Leya ...."

Wajahnya pucat, refleks telapak tanganku menyentuh keningnya, ini sih panas banget.
Kudorong masuk badannya dan menggiring kembali ke kamarnya, "Tadi udah makan malam, Mas?"
"Hm ...," jawabnya sambil mengangguk lemah, kuukur suhu tubuhnya menggunakan termometer yang memang sengaja kubawa dari kamarku, 38,2, astaga pantas saja dia merasa pening.

Semalaman aku menungguinya, setelah tadi memberikan dia obat parasetamol, mengganti kompres dan memeriksa suhunya entah yang ke berapa kali.
Sampai tak sadar aku tertidur di sampingnya.
Kurasakan ada belaian lembut menyapu permukaan pipiku, pelan kubuka mata dan langsung terkejut melihat wajahnya yang sedang tersenyum tepat di hadapanku.
Astaga apa yang kulakukan? Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Bisa-bisanya aku tertidur di sini, dengan serta merta aku bangun dan ingin segera beranjak dari situ, tapi ... dia menahan tangan kananku.

Posisiku masih membelakanginya, kucoba menetralkan debaran jantungku, dan akhirnya dengan tenang kuhadapi dia, menyentuh keningnya dengan tangan kiriku, karena tangan kananku masih belum terbebas dari genggamannya, dan dia hanya diam saja selama aku melakukannya.
"Kayanya udah nggak demam, Mas, masih pusing nggak?"
Dia hanya menggeleng menjawab pertanyaanku.
"Aku balik dulu kalau gitu, Mas, umh ... kalau nanti demam lagi, sebaiknya segera ke dokter." Aku berdiri tanpa aba-aba sehingga tanganku pun terlepas dari genggamannya, rasanya ingin segera berlalu dari sana.

Baru beberapa langkah, menuju pintu keluar kamarnya, entah apa yang sebenarnya terjadi dalam hitungan detik dia menarikku dan sekarang posisi kami berhadapan, tangan kanannya tepat di samping kepalaku menempel begitu saja di tembok.
Aku terhimpit di antara tembok di belakangku dan dirinya.
Tuhan, apalagi ini?
"Sejak kapan kamu menyukaiku?"
Deg!
Darimana dia tahu kalau aku ... menyukainya.
Apa yang harus kukatakan? Bagaimana aku menjawabnya?
Dia memiringkan kepalanya, tatapan kamipun bertemu segaris lurus, jantungku berdebar kencang, aku gugup tak karuhan.
"Hmm ...?" tanyanya lagi.

"Apa sih, Mas?" Kudorong badannya agar dia menjauh, tapi lagi-lagi dia menahanku kali ini kedua tangannya diletakkan di masing-masing sisi kepalaku.
"Cataleya ... kamu belum jawab pertanyaanku!" Baru pertama kali ini dia memanggilku Cataleya dan terdengar seperti alunan nada indah di telingaku, membuatku semakin berdebar.
Ah, aku harus segera pergi dari sini!
"Pertanyaan apa, udah deh, jangan bercanda ah, Mas!"
Kembali kudorong badannya, namun tetap saja gagal, aku malah salah tingkah sendiri karena kedua telapak tanganku terhenti di dadanya, segera kuturunkan cepat-cepat.
"Jangan ngelak ... kutanya sekali lagi, sejak kapan kamu suka sama aku?"
"Ge-Er ih, siapa yang suka sama Mas, aku ngerawat Mas itu murni kemanusiaan." Akhirnya akupun berbohong, walau itu kusesali.

Harusnya kubilang saja kalau aku menyukainya, toh kami masih sama-sama jomblo.
Tapi, masalahnya aku nggak mau jadi pengganti Mbak Calista, aku nggak mau jadi bayang-bayang sang mantan.
Yang ada nanti aku dibanding-bandingkan dengan kakakku.
Atau lebih parah dia mengasihani dan menerimaku karena Mbak Calista, aarrghhh, No!

Pelan dia menurunkan kedua tangannya, tapi aku tak langsung kabur dari sana, nanti malah kelihatan kalau yang tadi ditanyakannya itu benar.
"Begitu ya ... jadi aku salah?" Aku menunduk dan mengangguk lemah.
"Kenapa tiba-tiba Mas tanya begitu?"
"Hmm ... nggak pa-pa, tapi aku yakin sih kalau kamu bohong, jadi jawabannya tetap aku tunggu ya! Sejak kapan kamu suka sama aku?"
"Ck ...." Akupun melenggang keluar dari kamarnya, kondisi seperti ini bahaya.
Syukurlah kali ini dia tak menahanku.
"Makasih ya, Leya ...." ucapnya sambil melongokkan kepalanya dari pintu kamarnya.
"Ya ... kalau masih sakit periksa, Mas!"

###

Sejak kejadian itu Mas Ares semakin sering menggodaku, aku nggak ngerti maksudnya, kenapa dia melakukan ini?
Apa dia hanya iseng mengetesku? Kurang kerjaankah?

Satu sore, sepulang kerja dan baru turun dari mobil.
"Cataleya ... baru pulang rupanya?" Aku menengok terkejut tiba-tiba dia ada di belakangku.
Kamipun berjalan bersama menuju tower apartemen tempat kami tinggal, akupun bertanya, "Kenapa sekarang lebih sering manggilnya Cataleya, bukan Leya?"
"Kenapa? Nggak suka?"
"Bukan gitu, nggak biasa aja, nggak mungkin nggak sukalah orang namaku sendiri."
Masih tak ada jawaban atas pertanyaanku tadi, sampai kami tiba di depan akses masuk gedung, dia sengaja menahan pintu untukku seperti biasanya kalau kami sedang jalan bersama.
Hal yang selalu membuatku makin susah untuk nggak me-nyukainya? mencintainya? Ya pokoknya itulah.

"Jadi? Kenapa?"
"Apa?"
"Manggil Cataleya?" Ish, gemas sendiri, aku nungguin jawabannya lho sedari tadi.
Tersenyum tipis lalu dia menjawab, "Suka aja, Leya, Cataleya, sama aja kan? Sebenarnya nggak ada alasan khusus sih ...."
Benar kan dugaanku, nggak ada yang special, dia cuma iseng saja. Untung aku belum sampai Ge-Er sendiri, bisa sakit hati kalau melambungnya ketinggian.
"Oh ...."
"Oh apa?"
"Nggak pa-pa, kirain ada alasan lain kok tiba-tiba mengganti panggilanku. Kalau Mas sendiri? Lebih suka dipanggil Ares atau Reza?"

[Ting ... pintu lift terbuka]

Kamipun keluar dan melangkah beriringan menuju kamar kami, "Kalau Sayang gimana?"
"Hah?" Apa katanya barusan, seriusan aku nggak dengar.
Dia tertawa kecil, "Ares atau Reza dua-duanya namaku, suka kamulah manggil aku apa."
Kamipun sampai di depan kamar masing-masing dan dia langsung membuka pintu kamarnya, aku masih bengong, bukan itu yang tadi dia katakan, aku mendengar kata 'Sayang', aku nggak salah dengar kan?
Atau ini salah satu candaannya yang sengaja membuatku berharap lebih?

"Hei! Nggak masuk?" tanyanya melihatku masih juga mematung di posisi yang sama sedari tadi.
Lekas kukeluarkan kunci untuk membuka pintu dan menghilang di baliknya.

###

"Gue tahu, Leya!"
"Apaan?"

Aku sedang melakukan panggilan video dengan sahabatku Eva.
Dia satu-satunya orang yang tahu soal perasaanku ke Mas Ares, aku nggak bisa percaya orang lain untuk menceritakan soal ini.

"Kita prank dia!"
"Hah? Maksudnya? Prank gimana?"
"Lo kan mau tahu gimana perasaan dia ke lo, kenapa dia tiba-tiba nanya terus sejak kapan lo suka ama dia? Terus juga sering ngode lo, apa dia cuma mau ngege-er-in lo doang atau gimana?"
"Iya, terus, pranknya gimana?"
"Lo kemari deh sekarang, gue jelasin di rumah, kebetulan ada Dodi di sini, kita butuh bantuan dia!"
"Hah? Ngapain pake ngelibatin cowok lo segala coba?"
"Aduuuh bawel ye, udah kesini buruan!"
"Sekarang banget? Ini udah hampir jam 9 lho, Va!"
"Jutru itu! Makin pas timingnya."
"Hah?" Makin bingung saja ku dibuatnya.

45 menit kemudian ....

"Jadi gitu! Gimana? Cemerlang kan ide gue?! Eva ...." ucap Eva bangga setelah menjelaskan detail rencana jahatnya padaku.
"Bagus sih ... tapi gue takut, kalau dia marah gimana?"
"Ish ayolah! Seru ini, katanya mau tahu?!"
"Yeee ... lo enak sera seru, kalau dia ngamuk, kan gue korbannya!"

Tapi akhirnya kuikuti juga ide Eva, Bismillah ....

[Tuuut tuuut]
Kudengarkan nada sambung di ponselku, saat ini aku sedang di depan rumah Eva ditemani dia dan Dodi pacarnya.
Aku deg-degan, belum pernah melakukan ini sebelumnya.

"Hallo ...."
"Mas ... Mas Ares ... Mas Ares dimana? Mas, tolongin aku dong!" Kubuat suaraku sepanik mungkin, padahal di depanku Eva dan Dodi sedang menutup mulutnya menahan tawa.
"Leya? Kenapa? Kamu dimana ini?"
"Ini Mas, aku abis nabrak-"
"Hah?! Trus kamu nggak pa-pa? Kamu dimana ini? Ada yang luka nggak?"
Eva dan Dodi semakin terkikik mendengar kepanikan suara Mas Ares dari pengeras suara ponselku yang memang sengaja kuaktifkan.
"Nggak Mas, aku nggak luka, tapi ini orangnya marah-marah ...."
"Marah-marah gimana? Ini kamu dimana sih?"
"Di ... sekitaran Pasar Baru-"
"Ngapain kamu malam-malam kesana?"
"Aku ... mau makan sama temen, Eh ... eh ... itu temenku didorong, bentar ya, Mas, aku keluar ...."
Aku pura-pura menutup pintu mobil dan memberi kode pada Eva dan Dodi untuk memulai aksi dramanya.
"Leya! Shareloc! Aku kesana ...."
"Bentar, Mas! Bentar!"

"Nggak usah dorong-dorong dong, Mas!" Eva memulai aksi dramanya sambil menahan tawa saat aku mulai mendekati mereka.
"Mbaknya nyolot sih!" Dodipun mulai terlibat dalam drama prank ini.
"Ya, tapi nggak usah pakai dorong dong! Yang nyolot duluan kan Masnya. Jangan mentang-mentang kita cewek dan situ cowok ya!"
"Udah deh nggak usah banyak bacot!" Suara Dodi mulai meninggi, sepertinya dia cocok jadi pengisi suara drama radio.
"Mas, jangan kasar dong, nggak usah dorong-dorong temen saya!" Aku pun mulai ikut bicara.

Kami bertiga sedang bersandar santai di pinggiran mobilku.
"Ya terus ini gimana, Mbak? Mobil saya rusak parah tuh!"
"Ya kan saya bilang, saya tanggung jawab, Mas, kita bawa ke bengkel-"
"Mana ada bengkel buka jam segini, Mbak?!"
"Ya udah, kan tadi udah gue kasih kartu nama gue ke lo!" Eva sengaja sedikit berteriak untuk mendramatisir keadaan.

"Leya ... Cataleya!" Panggil Mas Ares di seberang sana.
"Bentar Mas, Bentar-" selaku tak memberinya kesempatan untuk bicara.

"Eh, lo nggak usah dorong-dorong ya!" Lagi-lagi Eva berteriak.
"Eh mas, nggak usah kasar dong ... aww!" Aku pun pura-pura menyela dan memisahkan mereka.

"Leya!" teriak Mas Ares lagi, tapi tetap kuabaikan.

"Mas, lo gue laporin ya! Teman gue kena gampar lo ini!"
"Kenapa kasar sih, Mas? Kan kami bilang, kami tanggung jawab!"

"Leya ... menjauh dari sana dulu!" Kuisyaratkan pada Eva dan Dodi untuk menahan sejenak acara dramanya.
"Aku digampar tadi ...."
"Hah?! Anj**g!"
Aku dan Eva seketika syok mendengar Mas Ares mengumpat, semarah itu.
"Tapi kamu nggak pa-pa kan? Kamu, kalian, ajak teman kamu masuk mobil, kunci! Catat plat mobil tu orang!"
"Mas, Mas, tunggu itu si Eva ditarik-tarik ...."
"Leya! Cataleya! Udah kamu masuk!" Suaranya betul-betul terdengar panik.
Sekhawatir itukah dia padaku?

"Mas, sabar, sekarang Masnya maunya gimana?" Akhirnya aku pura-pura bicara dengan Dodi lagi.
"Ya lo tanggung jawablah!"
"Ya kan saya udah bilang, saya tanggung jawab, Mas."
"Iya! Dari tadi gue udah bilang gue tanggung jawab!" Eva ikut menimpali.

"Leya ... aku mau ngomong sama orang itu," ucap Mas Ares tiba-tiba.
"Mas Ares mau ngomong? Bentar ya ...."

"Mas, ada yang mau bicara." Jeda sejenak.
"Ya, hallo, siapa ini?" sapa Dodi pada Mas Ares, Ponsel masih di tanganku dengan posisi kami bertiga mengurumuni si ponsel.
"Saya Arez, ini dengan Mas siapa ya?"
"Gue Dodi, lo siapanya mereka?"
"Gue pacarnya cewek yang tadi udah lo gampar, sekarang lo maunya gimana?"
Seketika kami bertiga saling berpandangan dengan wajah-wajah ternganga saling tak percaya.
Dia bilang aku pacarnya.

"Ya gue maunya cewek lo ini tanggung jawablah!"
"Dari tadi gue dengar kok, kalau cewek gue sama temannya mau tanggung jawab, jadi masalahnya dimana ya? Gue udah pegang plat lo ya, jangan macem-macem lo! Kalau lo mau duit, gue transfer sekarang, nggak usah kasar sama cewek, banci lo! Brengsek!"
Lagi kamipun siyok mendengar makian Mas Ares, Eva memberi kode 'udahan, udahan'.

Kami terdiam.
"Hallo ... hallo ...." Sementara Mas Ares masih memanggil-manggil kami yang tiba-tiba senyap.
"Leya! Cataleya! Hallooo ...."

Tak tahan akhirnya aku pun bersuara, "Mas ...."
"Leya? Kenapa? Orang itu ngapain kamu lagi? Kamu buruan dong shareloc!"
"Mas ... jangan marah ya ...."
"Hah? Marah? Maksudnya? Marah gimana? Ini kamu sekarang dimana, kok udah nggak ada suara cowok banci tadi?"
Eva menggigit kukunya, ketakutan sendiri kalau prank kami terlalu berlebihan.
Kalau Eva saja takut, apalagi aku ....

"Mas Ares ...." Tak ada sahutan, sepertinya dia menungguku melanjutkan penjelasan.
"Sebenarnya ... nggak ada apa-apa, aku nggak nabrak dan barusan itu kita cuma bercanda...."
Sempat beberapa saat tak ada jawaban lalu, "Maksudnya?" tanyanya.
Aku pun tak langsung menjawab.

"You just got praaaanked!" Suaraku kubuat seceria mungkin dan membuatnya terdengar bercanda, walau aku sebenarnya ketakutan.
[Tuuut]

Aku syok, Eva dan Dodi pun syok.
Ditutup sambungan teleponnya.
Panik, kucoba menelepon sekali lagi, tersambung ... tapi kemudian di-reject.
Oh no ... no ... no .... the prank gone wrong,
kucoba menghubunginya sekali lagi, dan hanya mendengarkan suara mesin penjawab, tidak aktif.

"Tu kan ... gimana nih? Berantakan gaess!" kataku panik.
"Iya nih, aduh sorry, gue nggak nyangka dia semarah ini ...." tambah Eva masih saja menggigit kukunya, kebiasaan buruk kalau dia lagi khawatir, gugup, panik.
"Eh tapi tadi kalian dengar kan? Dia sampai ngakuin Leya jadi pacar, I think sih itu pertanda baik ya." Kali ini Dodi pun menyuarakan pendapatnya.
"Ahh udah ah gue balik, nggak tenang gue. Mau minta maaf dulu ke Mas Ares!"

Sesampainya di apartemen aku langsung mengetuk pintu kamarnya, "Mas ... Mas Ares ...."
Tak juga ada jawaban, beberapa kali kulangi memanggil namanya sambil terus mengetuk pintu kamar. Masih tetap nihil.
Kali ini kucoba sekali lagi meneleponnya, tetap tidak aktif. Kulanjutkan acara ketuk pintu sembari memanggil namanya, huft ... tampaknya dia benar-benar marah, dan sementara harus kutunda acara meminta maaf ini.
Kurasa aku tadi memang sedikit keterlaluan.

Akhirnya aku berhenti mengetuk pintunya, takut kalau tetangga kami yang lain malah terganggu dengan kebisinganku.
Tapi baru saja aku berbalik hendak kembali ke kamarku sendiri, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan dalam hitungan detik dia menarikku masuk, menutup pintunya kembali dan mencuri ciuman pertamaku.

Tubuhku, napasku, otakku seolah semua berhenti berfungsi saat itu juga, hanya debaran jantungku yang berpacu sangat kencang.
Mataku masih terbelalak saking kagetnya, aku bahkan tak bisa menolak saat sentuhan itu semakin menuntut.
Apa ini? Jika hanya berciuman rasanya bisa menerbangkanku seperti ini, kemana saja aku selama ini mengasingkan diri?

Akhirnya aku berhasil mendorongnya setelah beberapa saat, karena aku sangat membutuhkan asupan oksigen. Bisa mati aku!
Masih terengah, aku menunduk malu, aku tak ingin dianggap murahan, tapi jelas-jelas aku membalas ciumannya.

"Itu hukumanmu karena sudah tega ngerjain aku sampai kaya gitu! Lagian ide gile siapa-"
Cup!
Kali ini ganti aku yang menciumnya, hanya sebuah kecupan singkat untuk membungkamnya agar tak marah lagi.
"Maaf!" Akhirnya terucap juga permintaan maafku,
aku menunduk, memegangi ujung kaos Mas Ares, seperti anak kecil yang baru saja ketahuan makan permen diam-diam padahal sudah dilarang.

Dia mengangkat daguku, dan kini mata kami saling bertemu, aku tak bisa mengelak lagi.
"Aku mencintai Mas Ares, aku nggak peduli kalau aku hanya Mas anggap sebagai pengganti Mbak Lista, atau kalau Mas Ares hanya iseng, aku harus mengatakannya."
Dia masih diam menungguku melanjutkan pernyataan cintaku. Dan aku pun tak gentar.
"Kamu benar, aku menyukaimu sejak lama, maaf, tapi itu bukan kemauanku, aku-"

"Aku juga mencintai kamu Cataleya!" potong Mas Ares, "Dan nggak ada yang menjadikan kamu sebagai pengganti siapapun, kamu adalah Cataleyaku, yang kebetulan saja kamu adik Calista, mantan pacarku, tapi sungguh itu nggak ada hubungannya dengan perasaan yang perlahan mulai timbul dan nyaman saat bersama kamu."
Mataku berembun, pandanganku pun mulai kabur, pertanda akan jatuh air mata ini mendengar pernyataannya barusan, rasanya sukar dipercaya, cintaku bak gayung bersambut.

"Jadi kamu nggak perlu khawatir lagi, okey?!" lanjutnya, dan aku hanya mengangguk mengiyakannya.
"Mbak Calista gimana?"
"Apanya?"
"Apa dia bakal ngerestuin kita?"
"Lho urusannya apa?"
"Dia kakakku, Mas!"
"Udah tahu, Sayang! Dan dia mau menikah, nggak ada hubungannya sama kita, dia nanti akan tinggal sama suaminya. Kamu sama aku, so?" Dia panggil aku apa barusan? Trus apa tinggal sama dia?
"Dih, aku nggak mau ya tinggal sama Mas! Dosa!"

Diapun tertawa mendengar perkataanku barusan.
"Nanti kalau kita juga udah nikah, Sayang!" Oalah, jadi malu sendiri aku. Ge Er. Eh apa dia bilang?
"Nikah??"
"Iya, kenapa? Nggak mau? Daripada dosa?" Dia tersenyum memandangku.
Rasanya masih nggak percaya ini semua terjadi, eh tapi ....

"Mas Doni?"
"Kenapa lagi dia?"
"Dia nggak suka sama Mas Ares kan, kemarin aja sampai-sampai aku tuh nggak boleh sama Mbak Lista nyebut nama kamu lho!"
"Ada juga tuh aku yang harusnya marah sama dia, tapi ya buat apa? Nggak ada urusan sekarang, toh dia juga udah mau nikah, mau apalagi coba, aku juga bukan sama Lista tapi sama Leya-"
"Adiknya," lanjutku.

Dan kami tertawa bersama, "Kita jalani aja ya ... gimana-gimana ke depannya, ya kita lihat entar aja ...." Aku pun mengangguk menyetujui ucapannya barusan.
"Udah ah aku balik, ntar ada setan lagi!"
Mas Ares tertawa mendengar perkataanku.
"Eh serius, Mas lebih suka dipanggil Mas Ares atau Mas Reza?"
"Kan udah dibilang ... Sayang!"
"Dih!" Kucubit pinggangnya dan aku berlalu pergi dari kamarnya.

"Sayang ...." panggilnya, aku pun menoleh walau belum terbiasa dengan panggilan baru itu.
"Jangan lagi macem-macem nge-prank kaya tadi, nggak lucu tahu! Kamu nggak tahu aku sepanik apa!"
Kuurungkan niatku membuka pintu dan melangkah mendekatinya lagi.
Berhenti di depannya kusentuh pelan satu sisi pipinya, "Maaf, itu ... besok kalau ketemu Eva, kamu omelin dia aja, ide dia tadi itu, hehe ...."
"Jangan lagi ya!" Kuanggukkan kepalaku dan tiba-tiba dikecupnya keningku.
"I love you, dah sana tidur, dah malam! Keluyuran mulu!"
Aku nyengir dan kali ini benar-benar kembali ke kamarku, tapi sebelum kututup pintu kamarku lagi ....

"Sayang! I love you too!"

TAMAT
THE END
FIN
BUYAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar