Persaudaraan Muslimah Indonesia, mempelajari Islam Secara Menyeluruh.

Jumat, 03 Januari 2020

YOUNG HUSBAND 11 - 12 (end)

#Young_Husband
Bagian 11

Keduanya memutuskan untuk pulang hari ini juga. Bulan madu yang pertama kali bagi mereka berakhir kelabu.

Hanin merasa hidupnya seperti kembali pada puncak kehampaan dan titik terendah tentang kepercayaan. Oh, Tuhan ... sesungguhnya ia akan sanggup bertahan melewati jalan terjal asal bukan wanita lain di dalamnya. Rasanya ia tidak bisa bila harus mengulang merasakan sakitnya tertusuk karena pengkhianatan.

Hamparan luas kebun teh yang indah menemani perjalanan ini tidak mampu menyejukkan hati yang patah.

Waktu seakan melambat ketika kendaraan penuh sesak memadati sehingga membuat mobil yang ditumpanginya berjalan merayap. Hanin tidak ingin berlama-lama sejujurnya, ia ingin segera sampai ke Jakarta dan mengetahui segalanya, Dirga berjanji akan menjelaskan semuanya setibanya di sana.
Keheningan terasa sangat membekukan. Hanya iringan lagu dari Radio yang menemani. Masing-masing dari mereka sibuk dengan perasaannya, untuk sekedar berbicara pun tidak mereka lakukan.

**************

Setelah merasakan lelahnya menempuh jarak Puncak-Jakarta yang terasa sangat lama, akhirnya tiba di tujuan. Dirga memakirkan mobilnya di pelataran rumah yang cukup luas.
"Kenapa ke sini?" tanya Hanin heran ketika berada di rumah mertuanya. "Suasana hatiku sedang tidak baik, aku tidak ingin bertemu dengan banyak orang."

Tidak ada jawaban sama sekali dari Dirga, ia membuka pintu dan turun. Kemudian membuka sisi lainnya dan menuntun Hanin melangkah masuk. Keduanya masih terasa sangat dingin.
Hanin dan Dirga di sambut senang oleh si kembar, sementara Mama dan Sarah masih saja bersikap dingin. Papanya sendiri nampak lebih sehat, ada garis bahagia di wajahnya ketika dikunjungi anak dan menantunya ini. Segera Hanin dan Dirga mendekat lalu memberikan salam.

"Kemana Kak Sandra, Kok gak keliatan?" tanya Dirga pada Resi.
"Ada, Kak. Tadi kayaknya lagi nidurin si bontot di kamar."
Dirga mengangguk paham, kemudian ia mengajak Hanin untuk duduk. Kedatangan kali ini Dirga ingin seluruh anggota keluarga berkumpul, menyelesaikan duduk permasalahan yang terjadi, meyakinkan hati istrinya bukan hanya dengan kata dan penjelasan yang dia sendiri pun belum yakin akan hal itu.

"Mana Kak Aldi?" tanya Dirga kembali.
"Mungkin di kamar juga sama Kak Sandra," jawab Hanum.
"Tumben lo nanyain dia," jawab Sarah ketus.
Dirga tidak menanggapi ucapan kakak perempuannya itu, Sarah tidak pernah bisa berkata sedikit baik dengannya.

"Pa, Ma, Dirga mau bicara," ucap Dirga pada kedua orangtuanya.
Untuk ke sekian kalinya, Dirga membuat Hanin bertanya-tanya. Apa sebenarnya tujuan Dirga membawanya ke sini dengan suasana hati keduanya yang masih kacau.
"Bicaralah," jawab Papa.

"Sebelum memulai pembicaraan, Aku ingin semua berkumpul di sini," balas Dirga.
Papa menghela napas panjang, sepertinya ada hal serius. "Num, panggilkan kakakmu dan Kak Sandra ke sini."

"Iya, Pa," jawab Hanum kemudian segera beranjak.
Tidak berapa lama setelah Hanum pergi, mereka pun datang. Seperti biasa Sandra menggunakan pakaian tertutup meski di dalam rumah, jalannya sudah terlihat biasa setelah sebelumnya sedikit terseok. Mereka pun duduk di sebuah kursi yang masih kosong, ada rasa heran dan penasaran yang tergambar jelas di wajah keduanya.

"Bicaralah," ucap Papa.
Dirga menegakan punggung, mengumpulkan keyakinan untuk memulai pembicaraan. Beberapa kali ia menghela napas memberikan rasa longgar di dadanya. "Masih ingatkah Papa ketika untuk pertama kalinya aku memutuskan hal penting dalam hidupku, tapi papa tolak?"

Ayahnya bergeming. Tidak mungkin ia lupa, peristiwa itu yang pada akhirnya membuat hubungan mereka menjadi sangat jauh. Tapi, untuk apa Dirga membicarakannya, semua sudah berlalu tanpa sebuah jejak.

"Papa tahu, bila perempuan itu melahirkan anaknya dan sama sekali tidak mengindahkan keinginan papa untuk digugurkan saat itu?" Dirga menatap ayahnya tajam. Hendra memucat.
Seluruh keluarga terkejut, terutama Aldi yang memang tidak pernah mengetahui bila masalah seperti ini pernah menimpa keluarganya. Komunikasi dalam keluarga ini memang kurang terjalin, mungkin bukan kurang tapi justru tidak. Sehingga banyak hal yang menjadi buruk. Sejatinya, dalam hubungan apapun sebuah komunikasi yang baik itu wajib hukumnya.

"Saat ini, ada anak bernama Nadira berusia dua setengah tahun yang sama sekali tidak pernah tersentuh ayah kandungnya. Darah siapa yang mengalir dari anak itu? Darah dari keluarga ini pastinya!" Dirga menatap Aldi. Kakaknya itu masih tidak mengerti.


"Perempuan bodoh!" rutuk Aldi.

Sedetik kemudian sorot mata tajam Dirga arahkan pada Aldi. Ingin rasanya ia mendaratkan sebuah pukulan keras di wajahnya seperti saat itu. Tapi tidak, kali ini ia harus menahan amarah, sebesar apapun rasa marahnya. Sedangkan di sampingnya, Hanin lebih banyak menundukkan wajah, menyembunyikan perasaan sedih yang sulit di ajak berpura-pura untuk biasa saja.

"Lantas, mau mu sekarang apa? tidak perlu membahasnya lagi, jaga perasaan istrimu." Papa mulai membuka suara.

"Tentu. Pembicaraan ini pun ditujukan untuk menjaga perasaan Hanin. Hanya saja, harus ada sebuah tanggung jawab dan permintaan maaf dari keluarga ini yang seharusnya di berikan pada seseorang yang sudah sangat di lukai hatinya," jawab Dirga.

"Kasih saja duit! Memang tujuannya itu kan?" Sarah menimpali. Ia seolah tidak sadar bila dirinya pun sedang mengandung karena sebuah kesalahan yang dilakukan sebelum menikah. Dirga merasa geram.

Hanin mulai berfikir, rasanya tidak ada satu orang pun di keluarga ini yang bisa menyikapi sesuatu dengan lebih bijak. Cara mereka memberikan penilaian terhadap seseorang terlalu menyudutkan, terlebih lagi ia pun merasakan pahitnya, karena orang yang di pandang begitu remeh adalah Ayu, seseorang yang sudah di anggap sebagai adik.

"Tidak usah lagi memperdulikannya. Toh, dia tidak menuntutmu!" jawab Papa yang membuat Dirga semakin geram.

Satu lagi, Hanin semakin mengerti mengapa Dirga menemukan ketidak kenyamanan dengan keluarganya.

"Mudah saja untuk Papa berkata demikian, seandainya saja luka dia adalah kita yang merasakan, apakah sebagai orangtua Papa tidak akan merasakan perihnya?" balas Dirga.
"Jangan kurang ajar kamu! jelas saja kedudukan perempuan itu tidak bisa disama ratakan dengan kita," jawab ibunya.

Dirga tersenyum getir menimpali, "keluarga ini terlalu tinggi menjunjung tingkat strata sosial, tapi terkadang lupa dengan akhlak dan hubungannya dengan manusia lain."
Hanin melihat sisi yang berbeda, ia tidak pernah melihat suaminya begitu lantang. Usia ternyata hanya sebuah hitungan angka, cara berpikir dan tingkat kematangan seseorang tidak bisa di ukur hanya dengan itu.

"Jangan kurang ajar kamu Dirga!" pekik Aldi, ia merasa adiknya ini sudah sangat keterlaluan.
Pandangan segera Dirga arahkan kembali pada kakaknya itu lalu di balas Aldi dengan tatapan sengit.
"Masih ingat mahasiswa cantik yang lo pacari tiga tahun lalu?" tanya Dirga penuh selidik. Dalam seketika, tatapan Aldi yang penuh marah tadi berubah menjadi hal yang sulit untuk diartikan. Bagaimana adiknya ini bisa bertanya hal itu?

Tiga tahun lalu sebelum pindah ke luar negeri, Aldi adalah seorang dosen muda di sebuah Universitas di Jakarta.
"Dia adalah Ayu. Kekasihku saat itu!" jelas Dirga.

Aldi tersentak kaget, begitu pun dengan keluarga lainnya karena mereka hanya mengetahui, bila Ayu adalah wanita yang di bawa Dirga pulang untuk dinikahkan karena mengandung anaknya. Hanya Sandra, yang terlihat datar tanpa ekspresi.

Kakak laki-lakinya itu memang pernah tergoda wanita lain, bahkan beberapa kali Sandra sering memergoki tindakan nakal suaminya. Ketika menggoda Ayu, Aldi sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu adalah kekasih adiknya. Dulu, Dirga tidak pernah sekali pun membawa Ayu ke rumah atau bercerita apa pun tentang kekasihnya pada keluarga. Aldi sendiri cenderung tidak peduli dan tidak ingin tahu dengan kehidupan adiknya itu

Bila diingat betul, Ayu bukanlah pendengar yang baik untuk keluh kesah Dirga saat itu, sehingga akhirnya Dirga nyaris tidak pernah bercerita tentang kehidupan keluarganya. Lain hal bila tentang ilmu, Ayu akan menjadi tempat berdiskusi paling baik. Ia sangat pintar menyerap pelajaran apa pun, karena kepintarannya itu ia menjadi seorang yang berambisi.

"Lo pasti gak tau wanita itu hamil, kan? tentu tidak! saat itu lo udah pergi jauh dan meninggalkan jejak kehancuran di kehidupan seseorang!" jelas Dirga masih dengan tatapan penuh kebencian.
Kalimat Dirga memukul telak Aldi, jantungnya berdenyut tidak percaya. Demi menenangkan diri, Aldi berusa melakukan proses respirasi dengan tenang, tapi udara yang masuk seakan membuat rongga dadanya semakin sesak.

"Gue berpikir saat itu, demi cinta dan demi menyelamatkan rumah tangga lo. Akhirnya gue memutuskan untuk mengakui sebagai ayah dari anak yang di kandungnya," ucap Dirga. "Terkesan bodoh kan, seperti yang selalu lo bilang, gue si anak bodoh?"

Kejutan yang baru saja disodorkan adiknya lebih dari sekedar rasa tak percata. Andai waktu bisa di putar, ia tidak akan meninggalkan Ayu. Pengecut memang, ia tidak memikirkan perasaan istrinya. Tapi begitulah perasaanya saat itu, meski menjadikan Ayu mainan awalnya, Aldi terbawa perasaannya sendiri.

"Ja-jangan asal bicara, Lo! " jawab Aldi terbata. Entah berusaha membela diri atau dia merasa bingung dengan situasi ini, yang pasti hanya itu yang terucap dari mulutnya.
Ibunya tampak lemas, Resi yang berada di sampingnya merangkul kuat tubuh ibunya. Sementara Papa, wajahnya memucat. Persoalan keluarga ini begitu pelik. Kembali untuk ke sekian kali ia merasa gagal memainkan perannya sebagai seorang ayah.

Sejujurnya peristiwa tiga tahun lalu ingin dikubur sedalam-dalamnya, karena terlalu banyak menyakiti banyak orang. Tanpa mereka ketahui ada Hanum yang justru mengetahui semuanya, karena secara tidak sengaja ia sempat mendengar semua percakapan Ayu dan Dirga kala itu.
Hari ini banyak orang yang terkejut, termasuk Hanin. Tapi tidak ... ada Sandra yang nyaris tidak menunjukan ekspresi apa pun, entah apa yang menyebabkannya seperti itu.

"Sampai kapan lo akan bersikap seperti pecundang?" tanya Dirga menekan kembali nada suaranya.
Aldi dan Dirga beradu tatap.

"Tidak perlu mengelak, selama ini aku diam bukan berarti tidak tahu, kamu terlalu banyak curang dan semakin terbiasa dengan kecuranganmu. Sama seperti Dirga, aku bertahan atas nama cinta. Cinta yang sampai saat ini mungkin belum bisa aku dapat. Atas sebuah nama cinta aku menjadi seorang yang bodoh, aku mengorbankan hatiku yang sebelumnya begitu menikmati banyak kasih sayang." Istri Aldi yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. Sudah tidak ada air mata yang berderai, buliran itu sepertinya sudah habis selama bertahun-tahun mengarungi bahtera pernikahan dengan Aldi. Hatinya sudah kebal luka, bahkan nyaris mati.

Terenyuh hati Hanin, wanita yang menjadi istri dari kakak iparnya itu sungguh luar biasa hatinya. Bagaimana ia sanggup bertahan selama bertahun-tahun dengan begitu banyak kecurangan. Ia yang sejak tadi lebih banyak menunduk, akhirnya mengarahkan pandangan pada Dirga, ada sebuah perasaan bersalah karena tidak mempercayai suaminya itu, bahkan sempat terucap kata cerai padahal Dirga sama sekali tidak sedang berbohong. Ah ... seketika rasanya ingin menangis, sungguh saat ini ia ingin langsung memeluk pria di sampingnya ini dan berkata, 'Maafkan kemarahanku.'

Ucapan istrinya kali ini pun seperti memukul telak Aldi. Untuk pertama kali juga Sandra bersuara dengan cukup lantang mengeluarkan isi hatinya yang selalu ia tutupi selama ini. Hati perempuan mana yang tidak sakit? bertahun-tahun memendam pilu tanpa ada tempat untuk bercurah tentu itu tidak lah mudah.

"Jangan menolak lupa, Mas. Hubunganmu dengan Ayu memang benar adanya bukan? dan sekarang sudah berbuah manis atas cinta yang kamu berikan pada perempuan lain," lanjut Sandra.
Mulut Aldi benar-benar kelu setelah di cecar rentetan kebenaran ini. Tidak menyangka bila ujung dari pertemuan ini adalah menguliti dirinya sendiri. Kecurangan itu memang benar adanya, hanya saja untuk kehamilan itu Aldi sama sekali tidak mengetahuinya. Saat itu ketika Aldi bilang akan bertolak ke luar negeri, hubungannya dengan Ayu berakhir. Namun, siapa sangka bila saat itu Ayu tengah hamil dan wanita itu belum menyadarinya.

Sesaat semua diam dan menetralkan perasaan masing-masing. Satu kebenaran baru saja terungkap, Dirga berharap ini menjadi sebuah penjelasan yang bisa kembali meyakinkan hati Hanin. Ia melirik sang istri di sampingnya, mata bulat itu mulai berkaca-kaca. Mimik wajah yang di tunjukan seperti menyiratkan sebuah permintaan maaf.

"Aku, tidak akan pernah melarang suamiku untuk bertanggung jawab, meskipun secara hukum islam anak iti tidak bernasab dengan ayahnya, tapi sebagai sesama perempuan aku tentu tahu bagaimana terluka dan hancurnya wanita itu. Bila pun pada akhirnya, Mas Aldi memilih dia, aku siap di ceraikan saat ini juga, dengan satu syarat, biarkan anak-anak tetap bersamaku," jelas Sandra. Terlalu banyak pahit yang menempa, hingga akhirnya ia berada di titik ini, mampu mengolah emosi menjadi sangat baik.

"Tidak! kalian tidak boleh bercerai!" Mama akhirnya membuka suara. Selama ini memang Mama nampak cuek dan tidak jarang menunjukan wajah masam. Tapi, pada Sandra ia sungguh sangat menyayanginya seperti anak kandung, mungkin pada Hanin pun akan sama seiring berjalannya waktu.

"Aku tidak akan menceraikanmu!" balas Aldi.
"Bila begitu, kembalikan posisi ku sebagai istri. Beri aku ruang untuk merasa memilikimu. Jangan curangi aku atau pun kembali menorehkan luka. Pertahanan ku sering sekali runtuh, tapi cinta membuat aku bangkit terutama saat melihat anak-anak kita," jawab Sandra yang mulai menitikan air mata. Benteng pertahannya seketika rubug bila sudah berbicara tentang anak.

Sedetik kemudian, suara anak kedua Sandra membuyarkan suasana. Ia yang baru saja terbangun, menangis kencang dan memanggil ibunya. Sandra segera beranjak dan meninggalkan pembicaraan ini. Aldi masih termangu dengan sejuta perasaan di hati. Sementara orangtuanya pun tidak lagi sanggup banyak berkata.

Tidak ingin lagi berlama-lama, Dirga pamit untuk pulang. Semua sudah di rasa cukup menurutnya, semoga dengan penjelasan yang seperti ini istrinya jauh lebih yakin.

***************

Sepanjang perjalanan hingga tiba ke rumah, Hanin dan Dirga ada pada keheningan masih belum mencair. Tidak ada satu pun dari mereka yang memulai kata.

Dirga memarkirkan mobil yang ia pinjam dari ayah mertuanya. Kemudian merogoh kunci dan membuka pintu rumah. Hanin seketika memeluk dari belakang, ketika mereka baru saja selangkah masuk.

Ia menangis dan terisak merasa bersalah, Dirga memutar badannya lalu membalas pelukannya.
"Jangan menangis, Sayang. Mulai saat ini yakinlah untuk tetap bersamaku, karena setelah ini cobaan pasti akan datang lagi, kuatkan hati kita, karena di hatiku hanya kamu. Hanya kamu," ucap Dirga lembut.

"Maafkan aku, entah apa yang membuat rasa percayaku hingga berada di titik paling rendah. Saat mengetahui itu aku merasakan sakit berkali-kali lipat lebih rasa sakit lebih dari sebelumnya. Hingga akhirnya aku tersadar, aku mencintaimu, bahkan Jauh lebih dalam dari yang aku duga sebelumnya," jawab Hanin di sela isak tangisnya.

Dirga merengkuh semakin erat pelukan itu. Rasa sejuk menjalar ke dalam hatinya, beragam janji terucap di sana.
Tuhan tidak akan keliru mengambil atau memberi sesuatu. Hanin memutuskan untuk berani percaya lagi, mencintai lagi, dan menatap masa depan lebih optimis.

---

#Young_Husband
Bagian 12 (end)
#tidakadalamnovel
 
Matahari mulai beranjak dari titk tengahnya. Terik menyengat mulai berganti dengan teduh. Seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun, tampak termangu, duduk lelah di sebuah tempat pemberhentian bus. Sesekali ia melirik sebuah benda berwarna dasar merah jambu dengan gambar Hello Kitty yang melingkar cantik di tangan sebelah kanan. Jarum jam berada di angka dua lebih tiga puluh menit.

Hatinya semakin gusar, apalagi ketika mengingat wajah sang ibu yang akan mengomel tak karu-karuan sesampainya di rumah nanti. Gadis yang akan beranjak ke fase remaja itu pulang sedikit terlambat, setelah tadi melihat pertandingan basket yang dimana salah satu pemainnya adalah kakak kelas yang ia kagumi.

Datang seorang anak laki-laki membuyarkan alam pikirnya. Anak itu menangis tersedu, seraya tak henti mengusap buliran bening yang deras mengalir di pipi tembam itu.
Tinggi badannya cukup pendek untuk anak seusinya, tubuhnya cukup gempal, warna kulit putih. Menggemaskan.

Anak perempuan itu ragu untuk mendekat. Namun, hatinya merasa iba. Karena ia tidak henti menangis.

Lima menit berlalu, ia memberanikan diri untuk mendekat. Jaraknya sekitar beberapa jengkal saja. "Kamu kenapa?" Tanya anak perempuan itu pelan.
Si anak lelaki sesaat menghentikan tangis, sedikit mendongak menatap siapa yang baru saja menyapa.
"Aku gak apa-apa," jawab anak itu seraya mengucek mata yang mungkin dirasa perih karena hasratnya yang masih ingin menangis.

"Kenapa menangis? Dimana rumahmu?"
Anak laki-laki itu merogoh saku celana, diambilnya sebuah kertas dan memberikan pada anak perempuan. "Aku tadi di jemput Mbak. Tapi, saat kami mampir ke pasar dia menghilang."
Si anak perempuan dengan ragu mengambil kertas itu, lalu membukanya. Ada alamat dan nomor telpon rumah.

"Kata Mba, kalau nanti di jalan tidak bertemu Mba, kasih ini ke Pak polisi," jawab anak itu polos. "Aku belum bisa membaca dengan benar, kakak mau bantu aku ngasih ke Pak polisi?"
Dia menatap anak laki-laki itu. Ingin sekali membantu, tapi di sisi lain dia takut pulang terlambat. Apalagi kalau ayah tahu. Pasti akan dimarahi.

"Tolong aku, Kak. Aku takut," pinta anak itu lagi memelas.
Dia mengembuskan napas pelan. "Baiklah, aku mengantar sampai ketemu sama Pak polisi, ya."
Dengan cepat si anak laki-laki mengangguk. Wajahnya merona, senang. Air matanya benar-benar tidak turun lagi. Keduanya beranjak, menyusuri trotoar. Sepanjang jalan, si anak laki-laki terus bercerita ke sana kemari. Sepertinya bocah kecil itu mudah mengakrabkan diri.
"Kakak, aku mau es krim itu," ucapnya menunjuk pada salah satu pedagang es yang menjajakan jajanannya di pinggir jalan.

"Kita harus segera sampai ke kantor polisi, ini sudah mau sore."
"Ayolah, Kak." Anak laki-laki itu merengek seraya memegang tangan. Tidak kuasa lagi menolak, si anak perempuan akhirnya menuruti permintaannya.
"Yeay!" Ia bersorak senang. Dengan mempercepat langkah menghampiri es yang diinginkan. Dua es krim digenggaman, yang satu ia berikan pada perempuan yang dipanggil kakak itu.
"Aku mau berfoto sama badut itu, Kak," pintanya lagi.

"Ayolah! ini sudah semakin sore. Aku bisa dimarahi ibuku."
Anak laki-laki itu menekuk wajah kecewa. Bibirnya mengerucut beberapa senti, menggemaskan sekali.
"Baiklah! Setelah itu kita pergi dan jangan mampir ke mana pun."
Senyum mengembang lebar sekali. Kedua jempolnya diangkat. "Oke, Kakak."

**

"Setelah itu, dia mengantarku sampai ke kantor polisi dan kita tidak pernah lagi berjumpa. Bila ada kesempatan, ingin sekali lagi bertemu dan mengucap terimakasih," ucap Dirga mengenang peristiwa belasan tahun lalu. "Saat itu, belum sempat mengucapkan terimakasih."

Hanin Terpaku, mendengar kata demi kata yang diceritakan suaminya. Ditutup album kenangan yang mulai usang itu. Tidak rusak, hanya saja sudah mulai buram termakan jaman dan cukup berdebu.
"Kamu hanya melambaikan tangan dengan senyum mengembang," jawab Hanin.
Dirga menoleh, menautkan kedua alisnya. "Bagaimana kamu tahu?"
"Aku si anak perempuan itu," jawab Hanin tersenyum.

Dirga tertawa kecil, tidak percaya. Bagaimana bisa?
Hanin mengacak rambut suaminya pelan dan tertawa. "Kamu tumbuh dengan baik, Nak. Sudah tidak gempal dan cengeng lagi."

Ajaib! Dirga tak henti takjub dengan skenario yang Tuhan berikan ini. Ternyata jauh sebelum ia beranjak dewasa, Tuhan sudah memberikan kisi-kisi tentang pendamping hidupnya. Memberikan kesempatan untuk pertemuan singkat belasan tahun lalu.
"Aku pun tidak percaya, ternyata aku sudah bertemu denganmu jauh sebelumnya," ucap Hanin yang tidak kalah takjub.

Dirga merengkuh sang istri ke dalam dekapannya. "Terimakasih untuk hari itu, hari ini dan esok."
Hanin mengeratkan pelukan. Sensasi rasa sejuk masih selalu terasa mendamaikan hatinya.
Dirga melepaskan pelukan, mendaratkan kecupan manis di kening dan beberapa bagian wajahnya.
"Ehm ...!"

Hanya tinggal satu senti jarak keduanya, sebelum bibir mereka beradu. Namun suara itu membuyarkan dan berhasil membuat mereka salah tingkah ketika melihat siapa yang melintas. Ayah Dirga.

"Ini ruang keluarga, pindahlah ke kamar," ucap ayah berlalu begitu saja tanpa melihat anak dan menantunya. Ia seolah menyindir seraya memperingatkan.
Sungguh itu berhasil membuat jantung Hanin berdegup kencang menahan rasa malu. Di cubit pelan pinggang Dirga, sehingga suaminya itu meringis kesakitan.

"Ayo, pindah ke kamar! Kata ayah di kamar," ucap Dirga berbisik menggoda. Wajah Hanin semakin merah. Malu, kesal dan juga senang bercampur jadi satu.
Sementara ayah yang sudah berlalu hanya terkekeh geli melihat tingkah anak dan menantunya itu.

*****

Hanin dan Dirga berjalan beriringan seraya bergandeng tangan menikmati jingga di sore ini. Keduanya berjanji untuk mengisi waktu lebih bermakna.
"Jadi minggu depan kita ke Bali kan?" tanya Dirga.
"Tentu," jawab Hanin dengan senyum mengembang. Lalu dibalas Dirga dengan senyum yang sama, binar bahagia sulit untuk disembunyikan keduanya.
Hubungan tidak akan selamanya manis, tapi Dirga selalu yakin sepanjang apa pun perdebatan di dalamnya dan tidak peduli sehebat apa pertikaian mereka, Hanin lah orang yang selalu percaya bila ia orang yang baik.

End