Persaudaraan Muslimah Indonesia, mempelajari Islam Secara Menyeluruh.

Sabtu, 04 April 2020

#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA 11 - 15

CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 11
Oleh: Khayzuran

Arjuna gelisah menunggu Rania, tangan dan kakinya terasa dingin tapi keringat menetes di pelipisnya. Arjuna sibuk menata hati, meredam gemuruh yang menderu di setiap relungnya. Bibirnya komat-kamit seperti sedang melafalkan sesuatu.
"Ada yang bisa saya bantu Den?"
Wajah Arjuna pucat, bibirnya kelu.
"Aku....."
Arjuna menelan ludah sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Iya Den"

Rania menatap tuan mudanya yang salah tingkah, berkali-kali majikannya itu menyusutkan tangan pada pelipisnya yang basah dengan keringat padahal rumah Arjuna full AC.
"Aku cinta sama kamu Rania. Tinggalkan Farhan dan menikahlah denganku, aku sungguh mencintaimu, kamu mau kan nikah sama aku Rania?" 

Teriak Arjuna, namun Rania hanya diam saja, menatap Arjuna dengan tatapan heran, seolah tidak mendengar apa yang Arjuna katakan.
Tentu saja Rania tidak mendengar apa yang Arjuna katakan karena Arjuna hanya meneriakkan kalimat itu dalam hati.
"Den Arjuna sakit?"
Tanya Rania hati-hati seperti mengkhawatirkan kondisi Arjuna. Arjuna masih membisu, bibirnya terkunci rapat.
"Aku lapar, tolong bikinkan mie rebus tiga porsi."
Akhirnya Arjuna memecahkan batu besar yang serasa menghimpit dadanya, tangannya mengepal, giginya gemerutuk, menyesali ketidakberdayaannya.

Punggung Arjuna disandarkan pada sandaran kursi makan yang sedang didudukinya, badan Arjuna terasa lemas.
"Bukannya Den Arjuna baru selesei makan 20 menit yang lalu?"
Arjuna gelagapan.
"Iya tapi aku masih lapar, cepat sana bikinkan aja jangan banyak nanya."
"Baik Den." Rania menurut.
Dasar orang aneh, baru selesei makan sudah minta dibikinkan mie rebus, tiga porsi pula, ternyata Arjuna bukan cuma doyan marah tapi juga doyan makan. Bersyukurlah hanya tinggal dua hari lagi tinggal seatap sama orang itu. Rania menghibur diri.

_________________________
Rania membawa tiga mangkok mie rebus diatas nampan, meletakkannya di meja makan dengan hati-hati, Arjuna masih ada disana.
Rania melihat ada yang berbeda dengan sikap Arjuna malam ini, dari tadi Arjuna terlihat gelisah, mungkinkah ini ada hubungannya dengan Non Michelle?
"Silahkan Den."
"Panggilin Bi Didah, kita makan bareng, kamu juga harus makan mie rebus ini, tiga porsi untuk tiga orang."
Rania ke kamar Bi Didah, didapatinya Bi Didah sudah mendengkur, tertidur pulas. Rania menarik nafas dalam, tidak tega rasanya kalau harus membangunkan Bi Didah hanya untuk memintanya menemani Arjuna makan mie rebus.
"Bi Didah sudah tidur Den."
"Iya gak apa-apa."
Ajuna tersenyum kecil. Yesss...serunya dalam hati.
Arjuna mulai menyendok mie rebus dihadapannya. Rania masih berdiri di tempatnya.
"Ayo makan." Perintah Arjuna.
"Saya masih kenyang banget Den, kan tadi baru saja makan."

Arjuna meletakkan sendok dan garpunya. Pandangannya beralih pada Rania, Rania menunduk. Rania kurang suka dengan tatapan mata teduh Arjuna akhir-akhir ini, karena sering membuat degup jantungnya berdetak kencang dan hatinya meletup-letup, resah.
Hening.....
Rania memberanikan mengangkat kepalanya, ternyata Arjuna masih menatap Rania, pandangan mereka beradu sesaat, Rania menuduk lagi, hatinya semakin tak jelas rasa.
Ada apa dengan tuan mudanya malam ini?
"Dua hari lagi mama, papa dan Bu Rima pulang."

Arjuna membuka suara.
"Setelah itu kamu mau kemana?"
"Saya mau pulang kampung Den, saya juga ingin ajak ibu pulag kampung. Den Arjuna juga kan sudah besar, sudah dewasa, sudah harus mandiri tanpa bantuan ibu saya lagi."
"Kalau aku ingin tetap sama ibu kamu gimana? mungkin dengan ikut kamu pulang kampung."
"Maksud Den Arjuna?"
"Aku ingin tetap dekat sama Bu Rima, Bu Rima sudah seperti ibu aku sendiri....."
Arjuna menghela nafas, pandangannya berpaling ke arah jendela, menghindari binar bening sorot mata Rania.
".....Aku ingin jadi anak Bu Rima sesungguhnya, bukan karena ikatan darah karena itu tidak mungkin tapi jadi anak Bu Rima karena ikatan pernikahan." Lembut suara Arjuna.


-----

CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 12
Oleh: Khayzuran

Arjuna menghela nafas, pandanganya berpaling ke arah jendela, menghindari binar bening sorot mata Rania.
".....Aku ingin jadi anak Bu Rima sesungguhnya bukan karena ikatan darah karena itu tidak mungkin, tapi jadi anak Bu Rima karena ikatan pernikahan." Lembut suara Arjuna.

Arjuna masih belum mau menatap Rania, tapi dari suaranya terdengar kesungguhan yang nyata.
Rania menyembunyikan tawanya saat mendengar apa yang baru saja dikatakan Arjuna, tapi tetap saja tawa Rania terdengar jelas oleh Arjuna, membuat Arjuna gusar dan semakin salah tingkah.
"Jadi Den Arjuna mau menikah dengan ibu saya?"
Tawa Rania belum lepas, Arjuna geram dibuatnya.

"Aku ingin jadi anaknya bu Rima bukan jadi suaminya Bu Rima."
Arjuna menegaskan dengan beberapa tekanan dalam kalimatnya.
"Oohh jadi mau jadi anak angkatnya ibu? jadi kakak saya?"
"Rania...."
Arjuna semakin geram. Pandangannya fokus pada Rania, menguliti setiap inci mahluk manis yang ada dihadapannya.
Dosa apa yang telah aku perbuat sehingga aku jatuh cinta pada perempuan ini?. Hardik Arjuna pada diri seniri.
"Aku ingin menikah dengan kamu Rania, jelas?"

Rania menghentikan tawanya, matanya membulat, mulutnya sedikit menganga.
"Kamu mau kan nikah sama aku?"
Rania membeku, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Hati Rania seperti kuncup mawar yang terkena sinar matahari pagi, mekar.
Hening....

"Maaf Den, saya cuma seorang pembantu dan anak pembantu di rumah ini, rasanya tidak pantas jika menikah dengan pemilik rumah ini."
Rania berusaha menguasai keadaan meski tubuhnya terasa ingin limbung karena lemas. Hati Rania berdesir-desir hebat, frekuensi detak jantungnya meningkat.
"Bukan karena Farhan?"

"Tentu saja karena Kang Farhan juga Den. Den Arjuna kan sudah tahu kalau saya sudah akan menikah dengan Kang Farhan, seharusnya Den Arjuna tidak boleh meminang perempuan yang sudah dalam pinangan orang lain. Lagian Den Arjuna juga sudah punya Non Michelle kan?"
"Kalau seandainya Farhan dan Michelle tidak ada, kamu mau menikah sama aku?"
Rania menggeleng lemah.
"Kenapa?"
"Den Arjuna sedang taruhan sama Mas Fauzan?"
Rania menyelidik.
"Taruhan apa?"
"Mas Fauzan juga meminta saya untuk membatalkan pernikahan dengan Kang Farhan dan menikah dengan Mas Fauzan?"
"Fauzan bilang gitu? terus kamu jawab apa? kamu tidak akan menikah dengan Fuzan kan?"

Mata Arjuna membulat, suaranya sedikit meninggi, sekilas terbayang wajah Fauzan, laki-laki berkarier sukses berwajah tampan. Memang sangat cocok dengan Rania, mereka satu dunia, akan lebih mudah menyeimbangkan aktivitas dan menyelaraskan perbedaan. Kalaupun Rania tidak jadi menikah dengan Farhan tentu saja yang akan dipilih Rania adalah Fauzan, bukan Arjuna. Hati Arjuna menciut, merasa kalah sebelum berperang.

"Bagi saya tidak ada laki-laki yang lebih brengsek dari seorang laki-laki yang meminta perempuan untuk meninggalkan laki-laki yang sangat dicintainya padahal pernikahan mereka sudah tinggal menghitug hari."

Mata Rania berkaca-kaca, suaranya berdesis, antara marah dan kecewa tapi di sudut hati Rania yang lain terselip sedikit bahagia, entah karena apa.
Tiba-tiba suara tawa Arjuna meledak, memekakkan gendang telinga Rania.

"Hahaha....Rania...Rania...kamu kok baper banget sih? kamu pikir aku serius dengan semua yang aku katakan tadi? kamu kira aku sungguhan mencintai kamu? kamu itu cuma seorang pembantu, aku bisa mendapatkan puluhan perempuan yang jauh lebih baik dan lebih terhormat dari kamu dalam waktu sekejap."

Arjuna menyeringai sinis, tatapan matanya seolah merendahkan Rania yang terpaku di tempatnya berdiri. Awas mata Arjuna mengamati perubahan ekspresi wajah Rania sambil berusaha meredam gejolak yang membuncah di hatinya.
"Tuh makan mie rebusnya, habiskan, gak enak."
Arjuna bangkit dari duduknya dan berlalu meniggalkan Rania.
"Brak..."
Arjuna membanting pintu kamar, tubuhnya yang atletis ia banting ke kasur, tangannya mengepal, nafasnya naik turun.
"Aahh..."
Arjuna melemparkan bantal.

-----


CERBUNG
#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 13
Oleh: Khayzuran

Arjuna melemparkan bantal ke dinding. Wajah Rania berkelebat, menyeringai menertawakan. Arjuna merapatkan matanya, mengusir bayangan wajah Rania yang terus mengejar. Rasa memang sering mengalahkan rasionalitas, tapi Arjuna tidak ingin terjebak rasa sehingga melakukan hal bodoh yang beresiko membuatnya kehilangan kesempatan. Rania memang ada di dekatnya tapi ego Arjuna menjadi jurang pemisah yang terjal yang membuat Rania terasa sangat jauh dan sulit dijangkau.

Rania merebahkan tubuhnya di kasur, wajah Arjuna bergelayut di pelupuk mata. Tadi, hati Rania sempat bergetar saat Arjuna meyatakan cinta untuknya, namun seketika itu Arjuna juga yang menghempaskannya hingga ke dasar terendah saat Arjuna meralatnya, Arjuna hanya bercanda, hanya memprmainkan Rania.

Rania jadi teringat kembali obrolan tadi siang dengan Ameera sahabatnya.
"Kamu yakin mau menikah dengan Kang Farhan? kamu beneran cinta sama Kang Farhan atau cuma kasihan aja sama Kang Farhan?"
Desak Ameera pada Rania.
"Rukun menikah itu hanya mempelai, wali, saksi dan ijab qabul. Cinta tidak termasuk di dalamnya."
"Tapi rasa cinta bisa menambah kesakinahan dalam rumah tangga."

"Perempuan itu mudah sekali luluh hatinya meski cuma dengan perhatian kecil. Saat ini aku memang belum memiliki rasa cinta untuk Kang Farhan, tapi nanti setelah kita hidup bersama dan intens berinteraksi aku yakin rasa itu akan tumbuh pelan-pelan. Mencintai lawan jenis itu fitrah, itu penampakkan dari naluri mempertahankan jenis, agar kita punya keturunan sebagai generasi penerus. Dan kamu tahu kan Ra, naluri itu akan muncul ketika ada faktor eksternal sebagai pemicu kemunculannya. Sekang aku dan Kang Farhan kan sangat menjaga jarak karena kita belum halal, tapi mungkin nanti setelah kita hidup bersama, aku akan lebih care sama Kang Farhan dan Kang Farhan juga akan care sama aku, kita akan punya banyak waktu untuk lebih saling mengenal, saling membuka diri dan mungkin saja setelah itu benih-benih rasa cinta akan tumbuh dan berkembang."

"Kamu berspekulasi dengan pernikahan kamu? Rania, pernikahan itu mitsaqan ghalidza, perjanjian yang besar, disaksikan oleh Allah dan para malaikatNya, bukan ajang trial and error."
Rania menarik nafas panjang, tidak dapat membantah apa yang dikatakan Ameera.
"Rania, kamu siap dengan segala konsekuensi jika menikah dengan Kang Farhan?"
Ameera bertanya hati-hati, khawatir akan menyinggung perasaan Rania.

"Hasil cath lab terakhir, sumbatan di pembuluh darah utama pada jantung Kang Farhan cukup banyak jadi tidak bisa pasang ring karena semuanya sudah tersumbat cukup parah, jadi satu-satunya jalan harus operasi CABG segera. Makanya aku memutuskan untuk segera menikah dengan Kang Farhan karena aku ingin menemani operasinya dan menemani proses pemulihannya. Kamu kan tahu Ra pemulihan post operasi bypass jantung itu bisa sampai tiga bulan, aku ingin halal menjaganya."
Ameera menggeleng.
"Cinta itu saling memberi ruang untuk meringankan beban, bukan saling menambah beban."
"Aku tidak merasa terbebani." Rania mengelak.

"Tapi kamu menutup mata atas nama cinta padahal sesungguhnya rasa yang kamu tampakkan tidak lebih dari rasa seorang dokter yang iba terhadap pasien yang kebetulan pasiennya adalah keluarga atau orang yang dikenalnya. Ketika kamu memiliki hati yang baik, kamu menolong terlalu sering, kamu terlalu percaya pada orang lain, kamu memberi terlalu banyak, berarti kamu harus selalu siap untuk terluka paling dalam."

Rania memejamkan mata, kata-kata Ameera memang banyak benarnya.
Wajah Arjuna dan Farhan membayangi bergantian. Seharusnya dari awal Rania menyadari bahwa cinta yang berusaha ia tumbuhkan untuk Farhan tak lebih dari rasa kasihan. Namun Rania juga sadar dan tahu diri, Arjuna tidak mungkin jatuh cinta padanya, jadi mulai detik ini Rania harus bisa menjaga hati agar tidak berharap lebih. Rania harus bisa meredam getar-getar di hatinya saat bertemu Arjuna, menyimpan rasa itu lebih baik dari pada mengatakannya pada orang yang tidak tepat. Mencintai orang yang tidak mencintai kita itu seperti menelan pil pahit sepanjang hayat.

Hal terbaik yang harus Rania lalukan saat ini adalah belajar mencitai Farhan yang beberapa hari lagi akan menjadi suaminya.
________________________
Pagi ini gerimis, tidak ada embun, mentaripun malu-malu untuk menampakkan diri.
Arjuana sudah bersiap di meja makan untuk sarapan. Bi Didah Mang Asep, Pak Mansyur dan Rania duduk satu meja dengan Arjuna untuk menikmati sarapan pagi ini.
Arjuna ingin bertahan dalam bungkamnya namun logika memaksa Arjuna untuk bergegas. 

Besok Ibu dan Bapak Dibyo juga Bu Rima akan pulang selepas menunaikan ibadah haji, itu artinya Arjuna hanya punya sisa waktu sebentar saja untuk menyelesaikan semua kecamuk di hatinya. Arjuna harus mengatakan semuanya pada Rania pagi ini, bukan untuk mengemis cinta Rania tapi hanya untuk membuat hatinya sedikit lega. Arjuna tahu Rania pasti menolaknya, Farhan adalah satu-satunya laki-laki yang merajai hati Rania, tidak mungkin terganti oleh laki-laki seperti Arjuna yang buta agama dan hanya mengukur segala sesuatu dengan materi. 

"Besok saya tidak bisa ikut menjemput ibu, saya ada keperluan, tidak apa-apa kan Den?"
Rania membuka suara meski masih segan karena kesal dengan kejadian semalam.
"Mau kemana?"
"Ada keperluan penting?"
"Iya mau apa?"
Arjuna terus mendesak, Rania tidak mungkin menceritakan pada Arjuna kalau besok ada psikotes sebagai salah satu ujian yang harus di ikutinya sebelum masuk program pendidikan dokter spesialis.
"Urusan pernikahanmu dengan Farhan? atau ada urusan lain dengan Fauzan?"
"Bukan keduanya Den, saya ada urusan pribadi."
"Aku memang tidak berhak mengatur-atur hidupmu. Tapi, seharusnya kamu bisa menjaga persaanku."

Arjuna menatap Rania. Bi Didah, Mang Asep dan Pak Mansyur menyaksikan dan mendengar semuanya. Rania tertegun mendengar kalimat terakhir Arjuna. Menjaga perasaan Arjuna? perasaan yang mana?
"Kamu tidak boleh pergi, banyak hal yang harus disiapkan untuk menyambut kedatangan mama sama papa."
"Saya bisa siapkan semuanya hari ini Den."
"Sepenting apa sih urusanmu sampai gak peduli dengan kepulangan ibumu sendiri?"

Arjuna masih bersikeras menghalangi Rania pergi.
Bel berbunyi nyaring, sepertinya ada tamu. Bi Didah bergegas menuju pintu depan, tidak lama Bi Didah sudah kembali lagi, ada Fauzan di belakangnya mengikuti.
"Aku ada perlu sama Rania."
Ucap Fauzan setelah mengucapkan salam.
"Disini saja, Rania belum selesei sarapan."
Arjuna melirik Rania sekilas. Fauzan menarik nafas panjang. Rania terjebak pada situasi yang sulit.
Fauzan menelan ludah sebelum memulai bicara.

"Rania, kamu sudah mempertimbangkan permintaanku kemarin? aku sungguh-sungguh dengan permintaanku. Kalau kamu sungkan mengatakannya pada Farhan, biar nanti aku saja yang menjelaskannya pada Farhan. Rania, kamu tahu kan aku masih tidak bisa melupakanmu, aku tidak bisa membunuh rasa yang sudah terlanjur mendarah daging dengan hidupku. Kita belum terlambat untuk memulai semuanya dari awal."

Wajah Rania pucat pasi, tidak menyangka Fauzan akan senekat ini.
"Fauzan kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan? kamu sedang berusaha untuk menghalangi pernikahan Rania dan Farhan. Tidak ada laki-laki yang lebih brengsek dari pada seorang laki-laki yang berusaha untuk menggagalkan pernikahan seorang perempuan dengan laki-laki yang sangat dicintainnya. Dan lagi kamu tidak boleh meminang seorang perempuan yang sudah dalam pinangan orang lain."

Itu kata-kata Rania tadi malam yang masih sangat di ingat Arjuna.
"Lalu apa bedanya dengan kamu? kamu mencintai Rania juga kan? bedanya kamu terlalu pengecut untuk jujur mengatakan semuanya pada Rania."

"Memangnya kenapa kalau aku juga menyukai Rania? aku tidak mengatakannya karena aku tahu itu akan percuma, Rania akan segera menikah, sudah menentukan pilihan, jadi untuk apa aku katakan?"

"Kamu menyukai Rania setelah tahu Rania perempuan hebat bukan? seorang dokter yang hafidz Qur'an, pengusaha, social worker dan banyak mendapat tawaran dari brand skin care dan hijab untuk menjadi brand ambasador produknya. Tentunya kamu belum lupa bagaimana perlakuan kasar dan tidak manusiawi kamu pada Rania sebagai pembantu kamu dan sebagai anak pembantu kamu, kamu hanya menyukai cashing Rania, bukan hati dan hidupnya."

"Cukup! Mas Fauzan, Den Arjuna tolong hentikan. Kalian tidak malu dengan Bi Didah, Mang Asep dan Pak Mansyur? pagi-pagi sudah membuat keributan."
Rania tidak habis pikir dengan kelakuan Arjuna dan Fauzan yang kekanak-kanakan.
"Kalau aku tidak bisa mendapatkan Rania, aku pastikan kamu juga tidak akan pernah mendapatkan Rania."
Fauzan menunjuk-nunjuk Arjuna lalu pergi tanpa pamit.
"Rania, apa yang Fauzan katakan itu benar. Aku menyukai kamu tapi itu sejak sebelum aku tahu kamu yang sebenarnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan menghalangi rencana penikahan kamu dan Farhan, aku tidak akan memintamu untuk meninggalkan Farhan, aku tidak akan memintamu untuk membalas rasa yang aku rasakan. Aku hanya ingin kamu tahu, tidak lebih."

-----

#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 14
Oleh: Khayzuran

"Rania, apa yang Fauzan katakan itu benar. Aku menyukai kamu tapi itu sejak sebelum aku tahu kamu yang sebenarnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan menghalangi rencana pernikahan kamu dan Farhan, aku tidak akan memintamu untuk meninggalkan Farhan, aku tidak akan memintamu untuk membalas rasa yang aku rasakan. Aku hanya ingin kamu tahu, tidak lebih."

Suara Arjuna seperti air mengalir, terdengar damai. Arjuna sangat tahu, dengan kondisinya saat ini, tidak mungkin bisa bersaing dengan Farhan, tapi setidaknya Arjuna sudah merasa lega karena apa yang selama ini tersimpan dihatinya bisa juga dikatakan.

Mengatakan cinta pada orang yang mencintai orang lain itu seperti makan obat tanpa air, pahit. Tapi sepahit apapun tetap harus Arjuna telan, tak peduli jika ada kata penolakan yang akan semakin menambah pahit dan sakit.

"Den Arjuna...."
"Tidak perlu berkata apapun, aku sudah tahu jawabanmu."
Arjuna tersenyum getir, memalingkan wajah ke arah jendela, menatap permukaan air kolam renang yang tersinari matahari. Arjuna tak berani menatap Rania yang justru sedang menatapnya. Arjuna yang selalu besikap keras kini tampak selembut kapas, menampakkan sisi lain dari dirinya.

"Kalau mau pergi, pergilah, tugas kamu untuk menjagaku sudah selesai, terimakasaih untuk semuanya, sorry sikap aku yang selalu kasar selama ini."

Bibir Arjuna sedikit bergetar mengucapkan kalimat itu, mungkin rasanya sama seperti seorag suami yang pamit pada istrinya untuk berperang. Tapi Arjuna berusaha untuk tampak baik-baik saja di hadapan Rania, perempuan itu tidak boleh tahu kalau laki-laki yang sedang ada dihadpannya sedang menahan sakit dari luka yang baru saja tertoreh di hatinya.
"Terimakasih Den."
"Panggil saja Arjuna, sekarang kamu kan sudah bukan pembantuku lagi."

Rania mengangguk. Bukannya masih ada satu hari lagi untuk jadi pembantu Arjuna? kenapa Arjuna mengakhirinya hari ini? apa memang Arjuna benar-benar menginginkan Rania untuk segera pergi?

"Saya permisi dulu, saya sekalian pamit ya Den. Setelah urusan saya selesai saya akan langsung pulang ke kampung, ada beberapa hal yang harus segera saya selesaikan. Nitip ibu ya, saya sudah bilang ke ibu kalau saya tidak bisa ikut menjemput bu."

Setelah psikotest memang Rania harus segera pulang karena besok ada janji bertemu dengan bapak Bupati untuk membahas program "Desa Pintar" yang digagas Rania.

"Angkat wajahmu Arjuna ijinkan aku untuk melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya." Pinta Rania dalam hati, tapi sia-sia, Arjuna semakin menekuk lehernya. Rania menjauh dari Arjuna, berjalan lambat menuju kamarnya.

Sejak 39 hari yang lalu, hari kebebasan inilah yang sangat dinanti Rania, tapi kenapa saat hari ini tiba, hati Rania terasa begitu berat untuk meninggalkan semua, ada ruang kosong yang hampa udara, dan udara itu adalah Arjuna. 

"Kang Farhan maafkan aku, insyaa Allah aku akan tetap menikah denganmu, maafkan aku karena ternyata aku jatuh cinta di hari-hari terakhir menjelang pernikahan kita, bukan padamu tapi pada orang lain."
Hati Rania basah, ada rasa bersalah yang dalam untuk Farhan.
"Rania..."

Suara lembut itu membuyarkan lamunan dan menghentikan langkah Rania, ternyata Arjuna sudah ada di belakang Rania.
"Maafkan aku, semoga kamu dan Farhan selalu bahagia, maaf mungkin aku tidak bisa menghadiri pernikahanmu dan Farhan karena aku harus segera ke Austria untuk melanjutkan kuliah S3 disana."

Rania berbalik, mendapati Arjuna yang berdiri tak jauh darinya. Keduanya beradu pandang sesaat, hanya sesaat, karena detik berikutnya keduanya sama-sama menunduk, sibuk menata hati yang bergetar dan jantung yang berdetak dengan irama yang tidak teratur. Rania dan Arjuna menyembunyikan rasa yang tak tentu warna. Mereka seperti dua orang yang sedang berusaha menenggelamkan kedukaan karena mereka harus berpisah meski mempunyai rasa yang sama, cinta.

"Tidak apa-apa Den. Semoga kuliah Den Arjuna lancar, cepat pulang ke Indonesia biar bisa segera menikah dengan Non Michelle."

Arjuna menarik ujung bibirnya, kepalanya menggeleng.
"Michelle sudah menikah dengan laki-laki yang menghamilinya."
Hati Rania kecut, jadi pernikahan Michelle yang membuat Arjuna tampak begitu berduka? bukan karena pernikahan Rania dan Farhan?

"Sabar Den, insyaa Allah Den Arjuna akan mendapat pasangan hidup yang lebih baik dari Non Michelle. Maaf Den saya permisi dulu, saya harus segera pergi."
"Satu menit Rania, tinggallah sebentar, satu menit saja, setelah ini kan kita tidak akan bertemu lagi. Mungkin hari ini terakhir kalinya aku bisa melihatmu, dan sebaliknya. Biarkan hatiku bahagia dulu sebentar karena ada di dekatmu, sebentar saja."

Ada yang berkilat dari mata Arjuna, kaca yang hampir pecah.
Rania menggeleng, sudut matanya menghangat.
"Tidak semua rasa harus bertuan. Banyak hal yang harus kita simpan demi menjaga perasaan orang-orang yang ada di sekitar kita. Terimakasih atas kejujuran Den Arjuna, tapi maaf saya hanya mencintai Mas Farhan, saya tidak mungkin bisa mengkhianati orang sebaik Kang Farhan dan saya kira orang seperti Den Arjuna bisa dengan mudah mendapatkan perempuan-perempuan hebat dalam sekejap seperti yang pernah Den Arjuna katakan pada saya. Maaf Den saya pamit, assalamualaikum."

Dan kali ini Rania benar-benar berlalu dari hadapan Arjuna, langkahnya bergegas seirama dengan butiran-butiran bening yang berloncatan dari matanya. Berbohong pada diri sendiri ternyata tidak semudah berbohong pada orang lain. Selamat tinggal Arjuna, gonna miss you.

-----

#RANIA_DAN_SEPOTONG_HATI_YANG_TERLUKA
Part 15
Oleh: Khayzuran

"Tidak semua rasa harus bertuan. Banyak hal yang harus kita simpan demi menjaga perasaan orang-orang yang ada di sekitar kita. Terimakasih atas kejujuran Den Arjuna, tapi maaf saya hanya mencintai Kang Farhan, saya tidak mungkin bisa mengkhianati orang sebaik Kang Farhan dan saya kira orang seperti Den Arjuna bisa dengan mudah mendapatkan perempuan-perempuan hebat dalam sekejap seperti yang pernah Den Arjuna katakan pada saya. Maaf Den saya pamit, assalamualaikum."

Dan kali ini Rania benar-benar berlalu dari hadapan Arjuna, langkahnya bergegas seirama dengan butiran-butiran bening yang berloncatan dari matanya. Berbohong pada diri sendiri ternyata tidak semudah berbohong pada orang lain. Selamat tinggal Arjuna, gonna miss you.
__________________________________
Dan malam ini Rania benar-benar merindukan laki-laki sedingin es itu. Senyum manisnya yang memamerkan deretan gigi putihnya yang rapih terus bergelayut di pelupuk mata Rania.
Ada orang yang selalu berani melakukan banyak hal tapi selalu takut melakukan satu hal.

Antara rendah hati, rendah diri dan tahu diri itu memang sangat tipis bedanya, itulah makanya kita harus punya banyak cermin di rumah, biar bisa berkaca dan mengukur diri. 

Jangan samakan ukuran sepatu kita dengan orang lain.
Rania memperpanjang bacaan sujudnya di sepertiga malam, besok adalah hari pernikahannya dengan Farhan. Rania sama dengan calon pegantin perempuan lainnya, degdegan, tidak bisa tidur, cemas, bahagia, semua bercampur menjadi satu.

Rania menepis bayangan Arjuna, laki-laki berhidung bangir beralis tebal dengan kulit dan mata kecoklatan itu belum tentu sedang memikirkan Rania. Mungkin kini Arjuna sudah ada di Austria untuk menempuh studi doktotal di University of Vienna, sebuah universitas besar yang berdiri sejak tahun 1365 yang kini memiliki kerjasama dengan lebih dari 70 universitas.

_________________________________
Dan detik-detik mendebarkan itu datang juga. Kurang dari 30 menit lagi akad pernikahan Rania dan Farhan akan berlangsung di mesjid yang berdiri di komplek rumah tahfidz yang dikelola Farhan dan Rania.
"Kamu cantik sekali Rania."

Ameera menatap kagum pada Rania yang tampak sangat cantik dengan gaun broken white material jackguard, gaun sederhana yang tampak elegan meski tanpa brokat dan taburan payet.
Rania tersenyum pada Ameera, sahabatnya yang datang tadi subuh.
Ameera mendekati Rania yang sedang mematut diri di cermian.
"Bisakah wajahmu tidak seperti itu di depan Kang Farhan nanti?"
"Maksud kamu?"
Ameera merengkuh bahu Rania.
"Orang yang mengenalmu pasti hafal raut mukamu saat sedang bahagia atau saat sedang sedih meski kamu tersenyum. Ekspresi wajah itu cerminan suasana hati."
"Aku bahagia."
"Tapi aku tidak melihatnya."

"Ameera, insyaa Allah aku bisa menjadi istri yang baik untuk Kang Farhan, aku pasti bisa menjaganya."
"Kamu itu akan menjadi istrinya, bukan akan menjadi dokter yang akan terus mengawasi kesehatan jantungnya."
Rania tidak menimpali, tangannya sibuk merapihkan kerudung putih yang dikenakannya.
"Ameera aku tidak mau ada ikhtilath diantara para tamu yang datang, meskipun tidak resepsi sepertinya akan cukup banyak tamu yang datang. Jadi kamu tolong arahkan tamu perempuan ke rumahku dan tamu laki-laki ke aula rumah tahfidz."
Rania mengalihkan topik pembicaraan.
"Baiklah tuan putri, i'll do the best for you."
Kedua sahabat itupun saling berpelukan.

"Kalau kamu menikah dengan Pak Riga, jangan lupa undang aku dan kang Farhan, kita siap jadi panitia pernikahan infishol taam pernikahan kalian."
Bisik Rania di telinga Ameera membuat wajah Ameera bersemu merah.

Pernikahan infishol taam itu pelaminan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan terpisah, demikian juga dengan tamu undangan, ada tempat khusus untuk tamu laki-laki dan ada tempat khusus untuk tamu perempuan, sehingga tidak ada ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Pernikahan itu ibadah jadi jangan sampai kesucian dan keberkahannya berkurang hanya karena ada pelanggaran hukum syara dalam prosesnya.
"Rania...sini Nak, ada ibu Dibyo."
Terdengar suara ibu dari luar yang mengabarkan kedatangan ibu Dibyo.

"Mantan calon mertuamu datang tuh."
Ameera menyikut Rania, menggoda.
Rania dan Ameera keluar kamar, menemui ibu Dibyo.
"Waahh cantik sekali anakmu, Arjuna pasti nyesel gak jadi menantu kamu."

Ibu hanya tersenyum saja mendengar celotehan ibu Dibyo.
Entahlah ada sedikit rasa kecewa dan sedih di hati Rania saat melihat ibu Dibyo datang seorang diri. Hati kecil Rania masih saja berharap Arjuna ada di depan matanya meski ia tahu sekarang Arjuna sudah berada di tempat yang berjarak ribuan kilometer dari tempat dimana Rania kini berada.
"Mana calon suamimu?"

Ibu Dibyo bertanya pada Rania bertepatan dengan kedatangan seorang laki-laki bermata dan berkulit kecoklatan. Laki-laki itu membungkukkan sedikit tubuhnya yang tinggi saat melewati pintu masuk rumah Rania.

"Ma, ini ponselnya ketinggalan di mobil...."
Laki-laki itu tidak menuntaskan kalimatnya, pandangan matanya terpaku pada Rania yang sudah mengenakan gaun akad, detak jantungnya berdebar cepat. Yang saling merindukan kini sedang beradu pandang, sama-sama meredam gemuruh di hati.

bersambung ...